Hari-hari kulalui dengan sedikit membosankan. Pekerjaan di kantorku sedang tidak begitu sibuk. Apalagi cuaca Jakarta dan sekitarnya akhir-akhir ini semakin panas. Belum lagi isu bencana gempa dan tsunami yang membuat aku rada was-was juga. Hari kerjaku hanya duduk di depan komputer main game atau internet. Semua yang kulakukan untuk mengisi kebosananku terasa sia-sia. Rasa bosan makin menggebu, dengan kesendirianku terasa sangat sepi. Aku ingin suasana seperti SMA dulu atau masa kuliah. Entah kenapa rasa kangen itu tiba-tiba muncul.
Aku ingin sekali punya sahabat yang mengerti aku. Tapi siapa? Yang ada selama ini hanyalah sekedar kenal, senang-senang dan berlalu begitu saja. Ingin aku menghubungi teman-teman sewaktu kos dulu, tapi... ah nanti terjadi lagi dosa. Aku memang menjaga jarak dengan teman-teman yang ketahuan gay atau punya kecenderungan semacam itu.
Sebenarnya aku ingin teman yang dapat membawaku ke arah yang lebih baik. Paling tidak aku dapat tahu, kalo aku bersama seseorang aku menjadi lebih baik. Baik secara fisik maupun mental. Aku tidak mau teman yang maunya ngikutin aku saja. Aku bukanlah seorang pemimpin yang baik yang
selalu sebagai panutan. Atau aku juga tidak mau ngikutin apa mau seseorang, apalagi sudah tahu salah atau dosa.Aku mau teman yang dapat berdampingan. Yang dapat saling memberi dan menerima, tanpa pamrih, tanpa harapan dan persyaratan. Malam ini setelah makan malam yang kubeli dari warung, aku nikmati dengan bersantai di depan tv, sendiri. Joki beberapa hari ini jarang kerumah, katanya sibuk mengurus om Runi.
"Hai, Imran!" seruku ketika kulihat Imran sudah berdiri di depan pintu.
Kemudian kupersilahkan dia masuk. Malam belum begitu larut memang, sekitar jam sepuluh.
"Aku mau tahu tempat tinggal kamu." katanya membuka percakapan.
Dia duduk di pinggir bersandarkan dinding menghadap tv.
"Ya, beginilah." kataku sambil duduk di sampingnya.
"Mau minum apa?"
"Kamu punya apa?" tanyanya.
Kemudian dia tertawa. Pertanyaan gurauan, aku baru ingat masak air tadi.
"Mau kopi? atau teh?"
"Teh saja." katanya.
Aku berdiri dan menuju dapur. Kuambil dua gelas dan kutuang air panas dari termos. Kemudian kuambil dua sachet teh celup, kemudian kucelupkan ke gelas. Sebentar kemudian air di gelas berubah warna. Ketika aku akan menuangkan gula, Imran sudah ada di sampingku.
"Aku pake satu sendok saja gulanya." katanya.
Matanya sibuk mengamati sekeliling.
"Asik juga ya tempatnya."
Kemudian dia cerita kalo dia juga ditawarin ngontrak di sini oleh Joki. Tapi dia nggak mau, karena tempat kost sudah di perpanjang sewanya untuk setahun dan lagi dia merasa belum siap untuk tinggal di rumah. Ya, tempat tinggal kita bebas melakukan apa saja, seperti di rumah sendiri. Kalau tempat kost kesannya kan menumpang, jadi harus sadar dirilah kalo mau 'macam-macam' tentu berpikir dua kali dulu.
Kutuang sesendok gula ke masing-masing gelas. Kemudian dia mengambil gelasnya dan aku mengambil gelasku dan kami berjalan ke ruang depan. Siaran tv terasa membosankan. Banyak cerita mistik atau sinetron yang asal cerita saja. Belum lagi gosip kawin cerai dari para selebritis. Mereka sebagai figur masyarakat luas mestinya memberi pengajaran yang baik, bukannya ngomporin untuk berantem dengan pasangannya.
Setelah duduk kembali di lantai, Imran coba meminum tehnya. Tapi masih panas, dengan santai dia taruh gelasnya di selangkangannya, persis diatas kontolnya.
Dia mendesah. "Kalo lagi tegang begini ditempeli yang hangat enak juga ya." katanya sambil memperlihatkan celananya yang gembung dibagian depannya.
Aku senyum saja dengan tingkah yang menggoda itu. Pelan-pelan aku jadi terangsang juga. Ngebayangin aku bisa menikmati kontolnya. Ada rasa denyut sarafku dikepala karena aku berusaha menekan nafsuku. Ah, Imran membuka restleting celananya, menaikkan bagian bawah kaosnya sampai atas perut dan memperlihatkan celana dalam warna kuning yang sudah mencetak kontolnya di situ. Kemudian gelas tehnya di tempelkan ke kontolnya yang masih tertutup celana dalam.