Besok adalah hari dimana Wana memutuskan untuk kembali pulang ke rumahnya. Ia yakin, jika lebih lama ia di sini, Papanya tidak akan membiarkannya hidup saat ia pulang nanti. Sementara ia juga tidak bisa terus tinggal di rumah Joe, karena bagaimanapun juga mereka hanyalah orang asing.
Berulang kali Joe berkata bahwa wanita itu telah menganggapnya anak, tidak masalah jika Wana tinggal di sana lebih lama, atau bahkan selamanya. Tapi tetap saja Wana tidak enak, apalagi ia memiliki keluarga yang meskipun menjengkelkan tetaplah keluarganya.
Enam hari berlalu, Wana menghabiskan harinya di rumah besar Joe dengan bahagia, bahkan ia sudah memiliki kamar sendiri di sini. Padahal percuma, toh ia juga tidak tahu akan kembali lagi ke sini atau tidak. Tapi Joe memaksanya berkunjung setidaknya seminggu sekali. Wana yang mengerti hanya bisa menurut.
Seminggu tinggal di sana, Wana tahu bagaimana hubungan Joe dengan ketiga putranya yang tidak terlalu dekat. Bukan tidak, melainkan ketika Joe mendekat, ketiga pria itu akan menjauh dengan berbagai alasan. Pantas saja Joe ingin memiliki anak lagi meskipun tidak sedarah.
Ah, mengingat hal itu membuat Wana lagi-lagi merasa tidak bersyukur. Ia selalu berpikir bagaimana jika Joe adalah ibu kandungnya, atau bagaimana jika Berlin memiliki sikap yang sama seperti Joe. Pasti Wana akan lebih menurut nantinya.
"Lihat, kamu melamun lagi."
Suara lembut itu membuat lamunan Wana buyar. Pemuda yang tengah tiduran di sofa dengan kaki di atas sandaran itu bergerak membenarkan posisi ketika Joe datang membawa camilan.
"Apa yang Wana pikirkan hem, jangan terlalu banyak berpikir Nak, tidak baik untuk kesehatanmu."
"Enggak kok, cuman lagi mikirin masa depan."
"Masa depanmu terjamin, tidak usah dipikirkan."
"Bukan itu, Wana lagi mikir tema apa buat nikahan Wana sama Yeyen nanti."
Joe membulatkan mata sebelum terkekeh. Ia mengusak rambut hitam pemuda itu. Seminggu kehadiran Wana di rumah ini membuat suasana tampak lebih hidup dan ramai.
"Mom, Wana ke taman ya. Mau jalan-jalan," katanya sembari menunjuk taman belakang Mansion keluarga Lordeon itu. Joe tampak khawatir.
"Wana belum sembuh, belum terlalu fit juga. Lebih baik istirahat dulu ya Nak? Mommy khawatir," katanya. Wana mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya bangkit.
"Kata dokter langganan, harus ngatur waktu buat olahraga. Diem di rumah terus juga gak baik, Wana kan cuman jalan-jalan." Joe menghela napas sebelum mengangguk, ia ingin ikut namun adonan kue di dapur bisa gosong jika ditinggal. Sementara ia tidak percaya dengan maid di Mansion ini.
"Jangan terlalu lelah, jangan berlari dan lebih baik duduk saja di kursi taman. Saat kuenya sudah matang, Mommy akan menyusul," ucapnya yang diangguki Wana. Pemuda itu hendak melangkah pergi sebelum Joe lagi-lagi memanggilnya.
"Tunggu sayang, bawa Anta bersamamu. Mommy akan lebih tenang," kata Joe sembari mendorong pria berjas hitam, itu asisten kedua Joe yang ikut juga ke Indonesia.
Pria muda yang bernama Anta itu terlihat kebingungan saat Joe menyerahkan botol jus, air putih dan sekaleng biskuit. Lalu ia mulai paham ketika Joe menyuruhnya untuk menjaga Wana.
Sebagai seorang babu, Anta tak memiliki hak untuk menolak.
Pagi itu Wana menghabiskan waktunya di taman untuk menikmati senja, padahal masih pagi, tapi Wana menyebut matahari terbit sebagai senja. Benar-benar aneh, segala hal padam disebut senja. Bahkan sehabis hujan yang memiliki udara dingin disebut senja.
Ketika matahari sedikit lebih terik, teriakan Joe yang menyuruhnya kembali membuat Wana bangkit. Ia masuk ke Mansion dan menemukan Joe lengkap dengan anak dan suaminya duduk di ruang tamu.
"Kemari sayang, lihat apa yang Daddy belikan untukmu," kata Joe sembari memberikan kotak yang ditutupi kain hitam.
"Bukan bom kan?" tanya Wana skeptis. Joe terkekeh dan menyuruh Wana duduk di atas karpet tebal berbahan wol.
Wana melirik Alex yang kini duduk dengan elegan di sofa single. Seperti biasa pria itu selalu terlihat tenang dan bijaksana. Dengan sedikit rasa penasaran, Wana membuka kain itu dan bisa melihat seekor kucing kecil berwarna abu-abu di dalam kandangnya.
Sepuluh detik berlalu, Wana masih terdiam dengan wajah yang tidak dapat dideskripsikan. Detik berikutnya anak itu menangis, membuat Joe mendekat dengan panik.
"Ada apa sayang, kamu tidak suka hadiahnya atau kamu takut dengan hewan ini? Alex, buang cep---"
"Jangan, jangan dibuang hiks. I-ini kucing," katanya. Yang ada di sana juga tahu jika benda kecil bergerak itu adalah kucing.
Joe masih memperhatikan ketika Wana mengeluarkan hewan itu dan memeluknya. Anak itu terisak pelan sembari mendusalkan wajahnya di bulu kucing tersebut. Ah, Joe baru tahu jika wana begitu sangat menyukai kucing.
"Wana pernah punya kucing hiks, namanya William Henry Ribery. Tapi Will dibuang Papa karena Wana dapet Surat panggilan orang tua dari sekolah. Wana sayang Will padahal," katanya. Joe merasa terharu dan gemas dalam satu waktu bersamaan.
"Ohho kesayangan Mommy, apa kamu senang sekarang?" tanya Joe sembari memeluk Wana. Pemuda itu mengangguk sembari menempelkan pipinya di pipi sang kucing kecil.
"Kucing itu dibeli dengan uang Daddy, tapi Jolyon yang datang ke toko hewan. Apa kamu tidak mau berterimakasih?" tanya Joe, Wana langsung menatap Alex dan Jolyon bergantian, namun kedua pria dewasa itu mengalihkan pandang ketika ia menoleh.
"Daddy, Kakak, makasih udah beliin ini. Wana seneng, nanti Wana traktir bakso Aci perempatan sekolah Wana ya." Joe tidak puas, ia ingin melihat anak dan suaminya menyatu dengan harmonis.
"Tidak seperti itu jika kamu senang sayang, setidaknya berikan ciuman atau pelukan. Mereka keluargamu, apa seperti itu caranya berterimakasih pada keluarga sendiri?"
Melihat wajah bahagia Joe, Wana jadi tak tega untuk membantah kapan ia menerima mereka menjadi keluarganya? Wana bangkit, ia benar-benar bersyukur diberikan peliharaan baru ini. Menul sudah mati ditangan Frans, setidaknya kucing ini bisa menyembuhkan dukanya.
"Daddy makasih, Wana janji bakal lindungin kucing ini dari pergaulan bebas. Wana gak akan biarin dia jadi nakal," kata Wana yang kini memeluk Alex.
Perlakuan tiba-tiba itu membuat tubuh Alex kaku, namun tak lama ia menghela napas panjang dan membalas pelukan itu. Hatinya entah mengapa menghangat, ia merasa sisi seorang ayahnya bersorak gembira.
"Sama-sama," jawabnya. Wana melepas pelukan itu dan beralih ke Jolyon. Ia menatap pria muda itu dari atas ke bawah. Aura Jolyon membuatnya tidak senang.
"Menjauh," kata Jolyon membuat Wana memicing tidak mengerti. Detik berikutnya Wana menyeringai, ia melompat dalam pangkuan Jolyon dan menempatkan bibirnya di depan telinga pria muda itu.
"KAKAK, MAKASIH!" teriaknya.
Jolyon merasa berbeda, asing dengan hatinya kini. Kata 'Kakak' yang dibawa Jolyon tampak berbeda ketika Wildan dan Zach yang memanggilnya.
Wana turun dan bermain bersama kucing barunya, meninggalkan Jolyon yang mengerjap pelan. Ketika mata Jolyon dan Alex berpapasan, keduanya terdiam seperti berbicara lewat hati.
"Aku telah memilih orang yang tepat," gumam Joe sembari memerhatikan kucing yang di smackdown Wana.
___
Hai, Wana ngapel malem ini.
Mungkin beberapa hari ini aku bakal ngaret atau lambat up ya.
Hah, i am sorry. Tapi aku masih agak kurang fit.Untung udah nyiapin beberapa Draft Wana yang bisa dipublis berpaa hari ke depan.
See you guys👋
KAMU SEDANG MEMBACA
Aldrewana H.L [End]
General FictionDemi bergabung dengan geng abal-abal, Wana harus melakukan suatu kenakalan di lingkungan masyarakat. Dengan masker wajah sebagai topeng, pemuda itu memasuki sebuah mobil mewah di parkiran Mall. Namun karena rasa kantuk begadang tengah malam, pemuda...