"Lanjutin, Yah."
Semua orang yang semula tidak menyadari itu akhirnya terdiam, momen yang selama ini mereka tunggu untuk mata itu terbuka, justru terjadi di saat yang tidak tepat. Entah bagaimana harus menjelaskannya, tapi apa yang ada di depan mata saat ini bisa memberikan konotasi yang berbeda dah menyebabkan seseorang salah memahami.
Frans tercekat, ia tidak tahu jika Wana yang dikatakan tengah koma oleh Alex, kini membuka mata. Tepat dengan pisau yang diarahkan ke dadanya. Pisau itu menembus kulit Wana meski hanya sebatas untuk pertunjukan, tapi rasanya seperti menusuk jauh ke jantungnya.
Wana putus asa, seolah keputusannya untuk bangun adalah sebuah kesalahan besar. Anak itu sudah sadar sejak lima belas menit yang lalu, tepat sebelum Frans dan Ferdi memasuki ruangan. Namun Wana tetap menutup mata, selain fakta bahwa ia belum siap bertemu dengan keluarga aslinya, ia juga belum mampu menggerakkan tubuhnya.
Dihadapkan pada perdebatan kedua keluarga yang bertolak belakang argumennya. Membuat Wana merasa menyesal tidak tinggal selamanya di tempat yang penuh kedamaian ketika ia tidak sadar.
Sakit rasanya, digunakan sebagai barang oleh Frans, bahkan mengetahui bahwa di dadanya kini ada senjata mematikan yang di arahkan ayah biologisnya sendiri.
Tidak tahukah Frans jika di sana ada organ sekepalan tangan yang detaknya telah Wana pertahankan? Jika di sana ada luka bekas selang yang di tanam untuk mempertahankan kehidupannya?
Hidup adalah lelucon!
Persetan dengan mereka yang peduli dan tidak peduli sama sekali. Wana rasanya sudah mati rasa.
Netra jernih yang semula terbuka segaris itu menatap orang-orang yang berdiri di dalam ruangan. Rasanya seperti ada dua faksi di sini, bukan faksi kanan atau kiri yang tunduk pada rakyat atau oligarki, tapi mereka yang dipenuhi keegoisan atau kepedulian.
Tangan kanan berdarah yang infusnya telah terlepas itu mulai terangkat dengan lemah. Wana telah tidak sadarkan diri sejak seminggu, tanpa asupan makanan lewat mulut, tenaganya seolah seperti ilusi. Namun Wana tetap mengangkatnya.
Meletakkannya di tangan Frans yang berada di dada kirinya.
Semua yang ada di sana tercekat, begitu pula dengan Frans dan Ferdi, ketika Wana dengan kekuatan entah dari mana, menekan pisau tersebut semakin menusuk ke arah jantungnya. Darah semakin mengalir, kini menderas diikuti dengan luka yang semakin dalam.
"Sayang!"
Joe memekik. Tanpa peduli pada Frans yang masih termangu di tempat, ia berlari mendekati sang putra, menahan tangan sang anak yang kini ikut ternoda darah.
"Jangan lakukan lagi, kau menyakiti Mommy," kata Joe. Wanita itu terisak tanpa disadari.
Wana yang masih gelap mata tampak tidak peduli. Anak itu masih menatap sang ayah kandung, dengan mata penuh keputusasaan. Jika Frans memang tidak membiarkan ia bahagia dengan pilihan yang ia inginkan, maka biarkan saja Frans yang menjadi saksi kemuakannnya pada dunia.
"Dari kecil Wana gak pernah minta yang aneh-aneh ke ayah, Wana juga gak egois soal kasih sayang dari ayah yang emang seharusnya itu hak Wana. Bertahun-tahun jadi samsak tempat pelampiasan ayah pun Wana gak pernah ngeluh, Wana hidup di rumah kaya orang asing, sampe kalo Wana gak liat foto Wana dilahirin dulu, Wana gak akan percaya kalo Wana itu anak kandung ayah."
Anak itu terengah-engah ketika selesai berbicara, suaranya serak dan tampak mengerikan, wajahnya memerah karena memaksa untuk terus bicara panjang lebar. Dokter yang menjadi saksi di dekat sana menggeleng pelan, betapa memaksanya anak itu untuk terus berbicara, padahal jika normalnya orang yang baru sadar dari koma, mengangkat bibir bahkan membutuhkan banyak tenaga.
Frans terdiam, mata pria itu masih menatap tangannya yang berlumuran darah. Ada tiga tangan di atas pisau itu, namun di antara dua tangan itu, jelas tangannya lah yang paling ternoda darah. Mendengar kalimat yang keluar dari bibir seputih kertas putranya, Frans merasa terhantam.
"Wana gak pernah nuntut ayah buat ambil raport Wana, ibuknya Vano terlalu baik sampai bisa gantiin tugas ayah. Wana juga gak pernah nuntut ayah buat anterin Wana kontrol di rumah sakit, karena Wana tau ayah gak pernah peduli soal jantung yang kapan aja bisa berenti. Wana juga tau, di dalem hati ayah, ayah gak pernah yakin jantung Wana bisa sembuh."
"Itu sebabnya Wana males kontrol dan ambil obat, karena semuanya percuma kan?" Anak itu terkekeh pelan meski sesudahnya harus merasakan rasa sakit yang tajam di dadanya.
"Ayah aja gak percaya Wana idup lama, apalagi Wana," batinnya.
"Wana jadi bingung sebenarnya alasan ayah bersikap kek gini ke Wana itu karena Wana goblok dan gak berprestasi, atau karena hal lain. Meski udah mikir berulang kali, Wana masih gak tau kesalahan apa yang pernah Wana perbuat ke Ayah. Tapi rasanya konyol banget kalo ayah benci Wana cuman gegara Wana tolol di sekolah."
Wana berhenti, napasnya mendadak sesak. Tenaganya yang secara tiba-tiba hilang entah kemana itu membuat Joe memanfaatkan keadaan dengan menarik tangan Wana dan Frans dari pisau.
Pisau berlumuran darah itu terlempar, Jolyon-- ah tepatnya James itu langsung menerjang tubuh Frans hingga membuat pria itu terguling ke sudut menabrak pintu kaca. Segera, para anggota Redflowers itu bergerak tanpa perintah sang tuan, memenjarakan kedua pria pembuat onar tersebut.
Joe yang masih terisak itu memegangi luka di dada sang anak, membuat tangan lentiknya kini juga dilumuri cairan berwarna merah.
Wana? Jangan tanya anak itu, baru terbangun dari koma dan berbicara begitu banyak, rasa emosional nya menyebabkan anak tersebut kembali memburuk. Wana terbatuk hebat, merasa oksigen yang ada di bumi ini bahkan tidak cukup untuk masuk ke paru-parunya. Namun dengan demikian, dia tetap membuka mulutnya.
"A-ayah egois, ayah kira cuman ayah aja yang bisa buat keputus-an? Camkan ini, ayah." Di sela tarikan napasnya, mata memerah Wana menatap tajam ke arah Frans. Sebelum kegelapan itu merenggutnya, entah untuk sementara atau dalam keabadian, Wana tidak mau membuang kesempatan.
"Aku anak Joe, Joe Lordeon. Ayah harus denger, setuju atau enggak aku gak peduli. Kalo bukan sama mommy, aku juga gak akan sama ayah .."
Suara yang semakin lama semakin mengecil itu akhirnya hilang ketika sang empu benar-benar menutup mata. Dokter sekitar yang seolah tahu langsung bergegas melakukan tindakan, anehnya semua orang yang ada di sana diusir keluar, tanpa memikirkan jejak situasi yang tadi sempat mencekam.
"Dokter, saturasi oksigen dalam darahnya menipis. Detak jantungnya sangat cepat dan melambat tiba-tiba!"
"Ambil tindakan!"
Hanya suara itu saja yang bisa Frans dengar sebelum tubuhnya ditarik dengan tidak manusiawi. Seolah tidak merasakan sakit akibat cengkraman dan seretan, mata pria itu kosong seolah tidak ada jiwa yang menempati raganya.
Karena yang Frans tahu saat itu, anaknya benar-benar hilang, ia gagal menjadi seorang ayah.
Tapi ada setitik pikiran, jika dia memberikan Wana pada keluarga Lordeon, akankah anak itu mau bertahan?
____
Mon maap cuman sederet. Yaa namanya juga menuju ending, kudu nggantung.
Tapi tenang aja, soalnya aku lagi pengen nulis dan sekarang aku lagi liburan, udah pasti update nya gak akan lama. Ya, palingan Kalo gak ada kendala setiap hari aku bisa update (asal ada yang ngingetin ehhe)Jangan lupa voment yaa
KAMU SEDANG MEMBACA
Aldrewana H.L [End]
General FictionDemi bergabung dengan geng abal-abal, Wana harus melakukan suatu kenakalan di lingkungan masyarakat. Dengan masker wajah sebagai topeng, pemuda itu memasuki sebuah mobil mewah di parkiran Mall. Namun karena rasa kantuk begadang tengah malam, pemuda...