"Sayang?"
Joe yang tengah terisak itu mendongak ketika merasakan pergerakan di tangan yang kini tengah ia genggam. Melihat netra jernih yang berusaha keras membuka hingga menampilkan segaris pupil hitamnya. Hati Joe berdegup kencang, wanita itu menekan-nekan tombol call di sisi lain bangsal.
Diiringi suara mesin EKG, langkah kaki pada dokter terdengar kontras. Ruang isolasi yang memenuhi beberapa orang itu tidak terlihat suram seperti sebelumnya. Dokter yang menangani meminta Joe untuk undur diri, namun wanita itu menolak dan terus menggenggam tangan sang anak.
Dengan mempertimbangkan hubungan batin antara ibu dan anak itu yang kemungkinan bisa menghasilkan keajaiban, dokter pun tidak bersikeras mengusir wanita itu dari ruangan.
Joe tetap di sana ketika dokter memeriksa anaknya. Menggenggam tangan dingin yang lebih kecil dari tangannya itu dengan erat, seolah jika ia melepaskannya, maka ia akan kehilangan anak itu untuk selamanya. Joe tidak berani.
"Kondisi tuan kecil sudah membaik meski belum sepenuhnya stabil, kami tetap harus memantaunya di sini, saat ini masih berada dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar. Lebih baik ada satu anggota keluarga yang menemaninya dan mengajak berkomunikasi untuk membantu mengembalikan kesadarannya."
Beberapa tim medis yang memiliki keahlian tinggi duduk di sudut ruangan, tidak berani melepaskan pantauan mata mereka dari pasien yang berbaring di tengah, sementara yang lainnya duduk di luar untuk mencegah infeksi virus di dalam ruangan.
Joe mengambil kursi di dekat sana, duduk di sebelah sang anak dan menatapnya. Joe tidak memperdulikan keluarganya yang melihat dari luar ruangan, mereka tidak bisa masuk meski mereka sangat ingin masuk. Ruangan itu dibatasi, dan Joe tidak ingin keluar bahkan untuk bergantian.
Hati wanita itu terenyuh menatap sang anak yang berkedip tidak bergerak, seolah tidak menyadari situasi dan orang-orang di sekitarnya. Mengintip pupil hitam dari kelopak mata yang terbuka segaris, Joe merasa, ia bisa melihat rasa lelah anak itu, seolah tidak ada lagi gairah untuk hidup.
"Mommy sudah belajar bagaimana cara membuat seblak seperti yang Wana inginkan, dengan mie yang dibuat sendiri serta tanpa bubuk cabai berlebihan, rasanya pasti jauh lebih enak dari yang biasanya Wana katakan. Mommy kemari mencoba membuatnya dengan rempah-rempah alami yang diimport dari China, paman Sam bilang rasanya enak, maka dari itu Wana harus mencobanya."
Melihat tidak ada gerakan di depannya membuat Joe tidak kehilangan semangat. Meski harus menghapus sebulir air yang keluar dari kelopak mata, Joe tidak mau mengeluh dan terus berceloteh.
"Kucing Wana yang bernama Ali, Mommy sudah membelikannya baju dan kaus kaki baru, jadi Wana tidak perlu memotong bagian dari kaus kaki Daddy. Dengan begitu Daddy tidak akan marah lagi. Mommy juga memberi dia makanan yang bergizi, Wana harus tahu, Ali sudah dewasa dan mendekati kucing tetangga."
Dengan sepenuh hati Joe merangkai kalimat yang menurutnya lelucon, namun tetap tak ada tanggapan dari anak di depannya. Joe tidak mampu bertahan lebih lama, namun ia tetap terisak tanpa suara.
Jika ada sesuatu yang lebih menyakitkan, itu adalah menangis tanpa suara.
Mata para dokter yang duduk memperhatikan pun ikut memerah, seolah mereka juga bisa merasakan emosi yang dirasakan seorang ibu.
Alex yang berdiri dan mendengar semuanya itu segera berbalik, tidak mampu menatap dan mendengar sesuatu yang menyakitkan lagi. Pria yang selama ini memimpin Redflowers bertahun-tahun, tanpa kenal takut akan rasa sakit, kematian dan kegelapan, kini akhirnya kembali merasakan takut di dalam hatinya yang seolah sudah lama mati.
Namun takut itu, bukan pada hal umum seperti rasa sakit, kesepian, kegelapan maupun kematian, tapi rasa takut akan kehilangan. Sungguh, ini kalo pertamanya Alex merasa begitu tidak berdaya. Jika ia bisa membunuh seribu nyawa hanya untuk menyelamatkan anak itu, maka Alex pasti akan melakukannya. Namun dengan ini Alex sadar, bahwa kebahagiaan bukan tentang seberapa banyak uang yang ada, bukan pula tentang seberapa ramai tempat yang dipijak, tapi tentang bagaimana keinginan hati tanpa syarat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aldrewana H.L [End]
General FictionDemi bergabung dengan geng abal-abal, Wana harus melakukan suatu kenakalan di lingkungan masyarakat. Dengan masker wajah sebagai topeng, pemuda itu memasuki sebuah mobil mewah di parkiran Mall. Namun karena rasa kantuk begadang tengah malam, pemuda...