Ketika membuka matanya, biasanya Wana hanya akan disajikan oleh ruangan hampa yang didominasi warna ungu. Namun kali in berbeda, sesosok bidadari yang menemaninya selama seminggu belakangan hadir di penglihatannya. Wana mengerjap beberapa kali guna memastikan satu hal, namun kecupan di dahinya itu membuat Wana tersadar jika ia sedang tidak bermimpi.
"Mommy?" gumamnya masih tidak yakin. Memang benar Wana merindukan wanita yang tidak sedarah dengannya itu, namun ia juga tidak yakin bisa sampai menjadi illusi.
"Ini bukan mimpi sayang, ini benar-benar Mommy." Seolah dapat tahu apa yang dikhawatirkannya, Joe berujar demikian yang membuat Wana spontan mengedarkan pandang ke seisi ruangan. Kilasan itu membuat Wana sadar jika ia baru saja kehilangan rumahnya.
"Jangan terlalu memikirkan banyak hal, kondisimu masih lemah." Wana menghela napas sebelum menatap Alex yang duduk di sofa pojok ruangan dengan fokus pada Macbook di tangannya.
"Daddy makasih ya, kalo gak ada Daddy mungkin aku udah jadi ikan asin di pinggir jalan. Karena waktu itu ujan, jadinya ikan asin yang difermentasi."
Alex yang mendengar itu spontan menoleh, ia mengangguk sebelum kembali pada Macboknya, padahal telinganya diam-diam terbuka lebar untuk mendengarkan apa yang istri dan anak itu bicarakan. Katakan saja jika Alex tsunder, ia terlalu ragu untuk ikut menimbung dengan keduanya.
"Mommy, sekarang Wana bener-bener udah jadi miskin. Yang penawaran buat jadi anak Mommy waktu itu, masih berlaku gak?" Wana hanya tidak tahu bagaimana ia akan hidup saat ini. Ia tidak tahu caranya memasak, mencuci baju sendiri atau mencari uang dengan memulung di jalanan.
Kembali ke rumah Frans akan meruntuhkan ego dan harga diri Wana, karena pada dasarnya Wana dan Frans memiliki ego yang sama-sama tinggi. Wana sadar seharusnya ia menjadi anak yang harus meminta maaf pada Frans dan memperbaiki segalanya duluan, namun Wana masih belum bisa.
Meminta maaf pada Frans tidak semudah membalikkan telapak tangan. Frans yang keras kepala dan berwatak keras tidak akan memaafkannya dengan mudah, kecuali Wana di ambang batas sekaratnya, barulan Frans sedikit iba dan mau menoleh ke arahnya dengan alasan kemanusiaan.
Perkara memperbaiki segalanya bisa dipikirkan nanti, saat ini yang harus Wana pikirkan adalah bagaimana caranya bertahan hidup. Rasanya peluang untuk kembali ke rumah itu hanyalah 0,1 %. Tidak ada yang berani menentang Frans di rumah itu, mereka semua tidak memiliki ikatan yang erat sampai mau membelanya, bahkan Berlin ibunya sendiri.
Wana tidak dekat dengan Azka, bahkan saat Wana dipukuli oleh Frans, Azka sama sekali tidak membelanya dan hanya duduk diam sembari menyesap teh. Padahal Azka adalah kakaknya, anak pertama yang harusnya tahu melindungi adiknya. Meskipun Wana salah, Wana tetaplah seorang anak yang perlu dibimbing dengan kata-kata.
Sementara Jia? Apa yang bisa diharapkan dari gadis itu, justru Jia lah yang sering menempatkan Wana dalam masalah. Untuk Berlin, Wana tidak bisa berharap banyak dari wanita itu. Bahkan ketika ia sekarat setelah dikurung Frans di gudang dan koma sampai tiga hari, esok harinya Berlin tidak mengatakan apa-apa atau memeringati Frans untuk tidak menghukumnya terlalu keras.
Wana jadi ragu, benarkah tempat hampa dan asing itu yang selama ini ia sebut rumah?
"Mommy sudah pernah katakan pada Wana kan? rumah Mommy selalu terbuka untukmu sayang. Apapun itu, kamu bisa bergantung pada Mommy." Suara Joe itu menyadarkan Wana akan satu hal. Bahwa tempat yang tak seharusnya justru menawarkan diri untuk menjadi atap.
"Tinggalah di rumah kami." Suara berat itu membuat Wana, Joe dan Alex spontan menoleh ke ambang pintu dan menemukan ketika anak Joe berada di sana. Wana mengerjap pelan, yang baru berbicara adalah si pendiam Zach.
"Kami butuh babu." Wana yang masih merasa terharu itu terasa disentak tiba-tiba dengan menyakitkan.
Zach hanya menginginkannya menjadi babu, bukankah lebih baik jika Wana jual ginjal saja untuk bisa makan sebulan ke depan dan menyewa kostan? lalu bulan berikutnya Wana bisa menjual paru-paru atau lambung untuk mendapatkan uang. Uangnya akan Wana gunakan untuk donasi di panti asuhan, itupun kalau Wana bisa sampai ke panti sebelum malaikat maut menjemputnya terlebih dahulu.
"Mati ajalah, dunia ini terlalu kejem buat Wana yang terlalu baik." Setelah mengatakan kalimat itu, Wana menutup kelopak matanya dan memeletkan lidahnya. Joe menepuk bibir itu sembari melempar tatapan tajam pada Zach.
"Jika tidak mau membantu lebih baik diam," kata Joe. Wanita itu kembali pada Wana yang saat ini melepas nassal canula nya, ia dengan sigap menghentikan.
"Jangan sayang, apa yang kamu lakukan, kamu masih membutukan ini." Wana menggeleng mendengar itu, ia menatap Zach si anak kurang ajar.
"Kalo Wana cuman mau dijadiin babu mending Wana jadi Pangeran aja di surga. Belum lagi sekarang di rumah sakit, Wana gak mau nyabut ginjal cuman buat bayar rumah sakit." Wana tidak tahu mau dibawa kemana hidup seperti ini, ia benar-benar dibuang Frans.
"Jangan katakan itu, uang Mommy adalah uangmu. Apa yang enjadi milik Mommy juga hak Wana."
"Beneran?"
"Iya sayang."
"Uang Mommy adalah uang Wana, uang Wana ya uang Wana. Sekarang Wana mau Mommy jual ginjalnya Zach, lumayan uangnya bisa buat beli amer."
_____
"Aku selama ini diam bukan berarti aku tidak bisa berbuat banyak Frans, semua karena aku percaya kamu mampu mendidik anak-anak dengan baik, aku pikir didikan darimu saja sudah cukup. Tapi kamu, siapa yang memberimu hak untuk mengusirnya?"
Berlin menatap marah Frans akan apa yang baru saja ia dengar hari in. Namun yang ditatap tajam itu justru memalingkan wajah ke samping, sementara dua anak yang tengah mendengarkan kedua orang tuanya berdebat itu hanya diam menunduk, tanpa sadar pun keduanya berperan dalam kejadian yang terjadi hari ini.
"Kamu seperti ini hanya karena kamu sedang kesal Lin, Wana adalah anak kita. Dia tidak punya siapa-siapa di laur sana, kemana lagi dia bisa pulang jika buka ke kita. Aku yakin dia pasti akan kembali besok atau beberapa hari lagi. Kamu tidak usah terlalu khawatir, rumahnya di sini."
Ucapan Frans itu tidak Berlin bantah, apa yang suaminya itu katakan sebagian besar adalah benar. Namun sebagai seorang ibu yang melahirkan, Berlin jelas tahu seperti apa kondisi Wana. Itu yang membuatnya khawatir sampai tanpa sadar berujar seperti in pada Frans.
"Frans, Wana berbeda. Dia tidak sama seperti Jia atau Azka. Apa kamu ingat ucapan dokter? bisa sampai usia dua puluh tahun dengan jantung itu saja sudah keajaiban. Kamu mengusirnya di saat hujan, padahal kamu sangat tahu fungsi jantungnya bisa menurun dengan cepat karena itu, apa kamu tidak merasa jika itu salah?" Ucapan Berlin itu membungkam Frans dengan telak.
"Aku tahu kamu ayahnya, kamu menginginkan yang terbaik untuknya. Tapi Frans kamu jangan lupa, dia berbeda, benturan sedikit saja mampu membuatnya pergi. Dan kamu jangan terbiasa hanya karena kamu sering menghukumnya."
"Jika dia lelah, dia tidak akan mau berusaha menemukan jalan pulang." Frans terdiam, namun lagi-lagi ia menyangkal, karena ia tidak mau mendengar sesuatu yang buruk tentang bungsunya itu.
"Jangan khawatir Lin, sudah kukatakan jangan khawatir. Tidak ada tempat di dunia ini selain kita. Beberapa hari lagi dia akan kembali, pegang ucapanku."
Frans berujar dengan tenang dan penuh keyakinan kala itu, namun semuanya tidak pernah terjadi. Karena sebulan berlalu, tapi Wana belum juga kembali. Tampaknya anak itu benar-benar pergi dari rumah.
Frans benar-benar merasa kacau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aldrewana H.L [End]
Fiction généraleDemi bergabung dengan geng abal-abal, Wana harus melakukan suatu kenakalan di lingkungan masyarakat. Dengan masker wajah sebagai topeng, pemuda itu memasuki sebuah mobil mewah di parkiran Mall. Namun karena rasa kantuk begadang tengah malam, pemuda...