37. Gara-gara ilmu.

9.7K 1.3K 149
                                    

"Biasa nya nih ya Mi, kalo ada tamu itu pasti ada hidangan penyambutan loh."

Axela terkekeh mendengarnya, menatap pemuda yang kini memunculkan kepalanya dari kursi penumpang. Ia mengusap rambut itu penuh sayang, sebelum menyuruh Jack untuk berhenti di sebuah pasar malam.

"Mami sudah membuat banyak makanan untuk mu sesuai rekomendasi ibumu. Tapi mendengar kalimat mu barusan, Mommy tahu ada udang dibalik batu. Apa yang Wana inginkan hem?" tanya Xela pelan yang membuat Wana menyengir.

Bukan Wana namanya kalau tidak mencari kesempatan dalam setiap keadaan. Dengan perasaan bahagia, Wana turun bersama Xela menuju pasar malam. Meninggalkan Jack yang tengah duet dalam aplikasi karaoke di ponselnya.

Namun tak lama pria itu menoleh ke kanan dan kiri, sebelum melempar ponsel dan berlari mengejar istri serta ponakannya. Orang-orang di sini sangat ramai, bagaimana jika ada yang menculik istri dan ponakannya? Jack belum siap menduda.

"Beli apapun yang Wana mau, selagi masih diperbolehkan dan sewajarnya." Wana yang mendengar itu langsung cemerlang, ia menatap Axela penuh kekaguman.

"Tapi, Mami yang bayarkan?" tanyanya. Meski sudah mengantongi enam kartu hitam, Wana tetap mengutamakan prinsipnya yang berbunyi;

"Selagi ada gratisan, mengapa harus bayar?"

Xela terkekeh ringan karena itu, ia menjemput sang ponakan tanpa membawa dompet. Tangan lembt wanita itu menyikut sang suami yang terengah di sampingnya, Jack yang mengerti langsung memasang wajah datar.

"Apa yang kamu mau? Ambilah, bahkan jika perlu pasar malam ini bisa Papi beli." Raut sombong langsung terpajang, membuat Wana mendadak mual. Anak itu tidak tahan dan melepaskan diri dari Xela, ia berlari ke stand permen kapas.

"Jangan berlari sayang, kamu bisa hilang." Axela dengan sigap mengikuti anak super aktif itu, meninggalkan Jack yang dengan wajah lusuhnya ikut berjalan menuju Wana yang tengah berjongkok-- menunggu pesanannya dibuatkan.

"Bagaimana dengan ku?" Jack yang menyenggol tangan sang istri itu membuat Xela menghela napas dan menatapnya dengan alis terangkat.

"Bagaimana jika aku yang hilang?" tanyanya, berharap akan mendapatkan kalimat mesra seperti Axela berbicara pada Wana. Namun sayang, yang didapat justru selusin duri tajam. Xela membalas dengan wajah acuh tak acuh.

"Jika kamu hilang, kamu idiot. Jangan menatapku seperti itu, atau aku akan memangkas umurmu dan mengirim mu segera ke liang lahat." Jack yang tadinya manyun itu kini langsung berdehem dengan segera, kembali memasang wajah cool sebelum memilih mendekati Wana yang tengah melukis tanah dengan ranting kotor.

"Hei bocah, ilmu apa yang kamu miliki?" 

Jack bersama Xela cukup lama, namun belum pernah melihat wanita itu berkata lembut, bahkan dengan anak mereka sendiri. Jika tidak suka, maka Xela akan melontarkan kalimat sarkas, dan jika ia suka, maka Xela hanya akan diam dan memperhatikan.

Yang membuat Jack bingung adalah, bagaimana Xela dengan mudah mengatakan kata 'Sayang' pada bocah tengil ini? sementara ia yang dua puluh lima tahun hidup bersama belum pernah sekalipun dipanggil sayang.

Wana yang tak  mengerti mengerutkan kening, namun tak lama wajah anak itu tampak berbinar. Ia menoleh ke belakang dan menemukan Xela yang menunggu mereka duduk di kursi tak jauh dari sana.

"Kenapa emang nya?" tanya Wana memancing. Jack menghela napas dan menatap anak di depannya dengan intens.

"Papi ingin tahu," jawabnya.

Wana mengangguk-angguk seperti orang dewasa. Ia mencampakkan ranting di tangannya dan mendekat ke arah Jack. Dua orang itu masih dalam posisi berjongkok, tanpa peduli tatapan orang-orang yang melihat keduanya dengan aneh.

"Wana bisa ajarin Papi, tapi yah ... Papi tau kan di dunia ini gak ada yang gratis. Orang berak aja bayar loh," katanya yang membuat Jack mengangguk paham. Ia mengeluarkan dompetnya dan menyodorkan sebuah Blackard.

"Segini, apakah cukup?" tanyanya. Wana menelan salivanya dengan susah payah. Dengan penuh perhitungan pemuda itu menggeleng pelan yang membuat Jack mengeluarkan benda yang sama dua lagi, terhitung ada tiga di tangannya kini.

"Tiga, bagaimana?" tanyanya. 

Meskipun sulit, namun untuk mendapatkan sesuatu yang berharga, jalan yang dilalui tidak lah mudah. Maka dengan tubuh gemetar Wana menggeleng yang membuat Jack menghela napas panjang. Takut kehilangan pelanggan, Wana mulai melontarkan kalimatnya.

"Mahal Pi, Wana dulu bayarnya aja setara harga diri. Ilmu ini bisa buat Mami klepek-klepek sama Papi. Gak semua orang tau ilmu ini, Wana aja berguru sama ahlinya. Ilmu ini udah langka Pi, Wana bisa rekrut Papi jadi murid Wana dan ajarin Papi, tapi ... ya yang kaya Wana udah bilang, bayarannya mahal." 

Jack memijat pelipisnya pelan, ia menghela napas pasrah dan mengobrak-abrik dompetnya. Melihat sesuatu, Jack mengeluarkan benda kertas yang terselip dan terlipat tak berarti itu. Ia membuangnya ke tanahm, namun tak sengaja mengenai tangan Wana.

"I-ini kan---"

 Manik wana berbinar, ia mengambil benda yang Jack berikan barusan. Hal yang sudah lama tidak ia lihat, sesuatu yang ia cari dan inginkan. Bahkan berharga lebih dari tiga kartu hitam yang ditawarkan Jack. Benda ini adalah--

---GOCENG!

"HUWEEEE GOCENG! Hiks Wana rindu goceng!"

Wana terisak kencang, membuat beberapa perhatian terarah padanya. Jack yang melihat itu langsung panik, Wana memeluk benda tidak terpakai yang telah ia buang. Jika ada Wildan di sini, mungkin pemuda itu akan langsung membawa Wana untuk disterilkan.

"Apa? Ada apa? Apa yang terjadi?" Xela panik dan mendekat, mendorong Jack untuk menyingkir sementara ia berjongkok dengan wajah yang benar-benar cemas.

"Ada apa Nak, mengapa menangis? Apa Jack mengganggumu, atau ada yang sakit? Katakan pada Mami, jangan buat Mami khawatir." Wana mengelap cairan di wajahnya dengan punggung tangan. Ia menunjukan kertas lusuh di tangannya pada Xela.

"Hiks ... G-goceng Mi, hiks ini goceng," adunya yang membuat Xela tidak mengerti. Namun di sisi lain ia menghela napas lega karena sesuatu yang buruk tidak terjadi. Meskipun tidak mengerti, Xela mencoba menenangkan Wana yang menangis.

"Iya sayang, berhenti menangis. Kalau tidak Joe akan memarahi Mami, Wana tidak ingin kan Mami dimarahi?" 

Wana mencoba menghentikan rasa harunya dan menggeleng. Ia melipat kertas itu dengan penuh kehati-hatian, sebelum akhirnya memasukan ke dalam saku dengan penuh penghormatan.

Tidak lama kemudian, permen kapas pesanan Wana telah jadi. Anak itu memesan permen kapas dengan tidak mausiawi, bahkan saat membawanya pun mampu menutupi tubuhnya. Sangat besar dan berwarna warni hingga menarik perhatian banyak orang.

Jack yang dilupakan bertugas membawa permen itu dan menjadi pusat perhatian. Sementara di depannya ada sang istri dan bocah iblis yang tengah tertawa dan menikmati pemandangan. 

Karena tidak memperhatikan jalan, Jack tidak tahu dua orang di depannya yang berhenti tiba-tiba. Membuat permen kapas itu menempel di rambut halus nan terawat milik  Xle. Namun anehnya, tak ada pekikan marah atau umpatan. 

Jack yang penasaran mengapa Xela tidak mengamuk itu bergeser dan menatap apa yang ada di depannya. Namun detik itu juga matanya menajam, permen yang ada di tangannya ia lempar asal.

"Wana, ini Papa."









_____

Frans muncul nih.

Jangan lupa voment.





Aldrewana H.L [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang