Oek.... Oekk ...
Aku menarik nafas lega setelah kudengar suara tangisan seorang bayi. Kuletakkan kembali kepalaku diatas kasur setelah aku berjuang mengejan untuk mengeluarkan anak tersebut dari rahimku. Bulir bening menetes dari sudut mataku melihat aku berhasil melahirkan putri pertamaku yang dulu tak pernah aku harapkan.
"Selamat Ngi, bayinya perempuan." Kata bidan yang membantuku menjalani persalinan ini.
Aku membalas dengan senyuman ucapan dari bidan itu. Rasanya aku tak punya tenaga lagi setelah berkutat selama hampir 24 jam dengan kontraksi yang indah dari dalam rahimku akhirnya perjuanganku selesai. Seorang bayi perempuan terlahir di dunia ini. Ya dialah anakku, putri tunggalku.
"Bayinya cantik Ngi, ini bisa dilihat dulu." Kata bidan sambil meletakkan anakku yang sudah dibedongnya di sampingku.
"Ngi tahan ya, akan ada sedikit jahitan. Lihat anaknya yang cantik aja biar nyerinya tidak terasa."
Aku mengangguk menuruti bidan tersebut.
Kupandangi wajah ayu anakku. Dia kecil mungil, rambut hitam tebal menghiasi kepalanya. Bibir kecil mungil berwarna merah merekah, hidungnya yang tipis mancung, menambah kecantikan wajahnya yang begitu kuperhatikan mirip mas Moondy. Ayah anakku yang sebentar lagi akan menjadi mantan suamiku.
Nyeri dibawah sana ketika aku menerima jahitan tanpa bius dari bidan tak kurasakan lagi. Rasa sakitnya tidak lebih dari sakitnya hatiku tentang penghiatan dan perlakuan buruk suamiku terhadapku selama dua tahun kami menikah.***
"Terima kasih ya bu sudah membantu saya selama ini." Ucapku pada bidan yang selama 7 bulan ini membantuku merawat kandunganku hingga membantuku dalam persalinan.
"Sama-sama Pelangi. Kamu beneran pulang sendirian ? Atau mau bu bidan antar Ngi ? " Tanya bidan yang bernama bu Sari itu.
"Iya bu. Mau dengan siapa lagi memangnya ? Saya kan tidak punya siapa-siapa disini ? Gak usah diantar bu, Pelangi bisa kok." Jawabku sambil menunduk melihat putri kecilku.
"Kamu yakin bisa sendiri ? Jahitanmu masih basah Pelangi."
"InsyaAllah bisa bu."
"Baiklah kalau begitu. Kalau ada apa-apa kamu bisa menghubungiku. Satu minggu lagi anak kamu vaksin ya ? Jangan lupa dibawa kesini sama buku KIA dibawa."
"Iya, aku pasti keisini bu untuk vaksin."
Bu Sari tersenyum mendengar jawabanku. Aku berpamitan kepada beliau setelah taxi online pesananku datang. Kutuntaskan administrasiku dan aku mulai memasuki mobil. Bu Sari mengantarku sampai mobil sambil membantuku membawa barang-barangku kedalam mobil.
"Saya pamit dulu ya bu, terimakasih untuk bantuannya bu. Assalamualaikum."
"Sama-sama Pelangi. Walaikumsalam."
Sebetulnya jarak antara rumahku dan rumah bu Sari tidak terlalu jauh. Jika bukan karena permintaan bu Sari agar aku memesan taxi online aku lebih memilih jalan kaki untuk pulang ke kosku.
Kos ? Iya.
Aku tinggal di kos-kos.an selama 8 bulan terakhir. Aku lebih memilih pergi meninggalkan suamiku dan tinggal sendiri disini, ditempat yang jauh dari tempat dimana suamiku berada. Tidak ada satu orangpun yang tau dimana aku berada, termasuk kedua orang tuaku.
Hanya 10 menit perjalanan aku sampai di kosku. Dibantu supir taxi aku menuruni mobil, dan meletakkan barang-barangku. Kamarku terletak di lantai pertama, sehingga aku bisa langsung sampai ke dalam kamarku. Aku sudah disambut oleh ibu kos dan tetangga kosku. Mereka antusias melihat dan menggendong bayiku."Woo ... Ayune yo anakmu Ngi." Puji ibu kosku.
"Matursuwun bu." Jawabku.
"Eh lha tapi kok ndak mirip kamu ? Mirip bapak.e ki mesti." Celetuk Rani, tetangga kosku yang kemudian membuat senyumku menjadi hilang."
Hening. Kuliris sekilas bu kos menatap Rani sambil mulutnya komat kamit, mungkin mereka merasa menyesal mengatakan itu padaku.
"Mirip Pelangi kok Ran, pie to koe ki." Bu kos kembali membuka suara ditengah keheningan kami.
"Eh iya, mirip Pelangi ayune." Sahut Rani sambil tersenyum salah tingkah.
Setelah kurang lebih 30 menit mereka dikamarku bu kos dan Rani berpamitan untuk melanjutkan aktifitas mereka masing-masing. Suasana kembali hening. Putri kecilku masih tertidur cantik diatas ranjangku. Kututup pintu kamarku sebelum aku ikut berbaring di sampingnya. Kucium dia perlahan agar tak membangunkan tidurnya. Buliran bening kembali menetes di kedua mataku. Mengingat segala cerita dan perjuanganku hingga adanya Cilla disini.
Ya. Aku memberinya nama Arcilla Putri Pelangi. Biarlah kusematkan namaku. Karena memang dia anakku.*****
Hari ini usia Cilla sudah memasuki 40 hari. Dia semakin cantik. Beruntungnya aku dia tidak merepotkanku dengan mengajakku begadang setiap malam, jadi aku bisa melakukan aktifitasku setiap paginya. Jahitanku mengering satu minggu setelah kelahiran Cilla, karena aku hidup sebagai wanita mandiri aku harus segera melalukan segala sesuatu yang selama seminggu ini tak bisa kulakukan.
Cucian bajuku menumpuk, kumulai dengan mencuci baju dulu sebelum melakukan pekerjaan lainnya. 8 bulan aku hidup sendiri sudah membuatku terbiasa untuk melakukan apa-apa sendiri. Dulu sebelum Cilla lahir aku bekerja di sebuah supermarket. Dengan ijasah SMA yang kumiliki tidak bisa membuatku dengan leluasa untuk memilih pekerjaan dengan gaji yang besar. Tapi beruntunglah aku, walaupun hanya di supermarket aku bisa menabung untuk biaya hidup dan persalinanku.
Satu hari setelah kepulanganku, ku telepon bosku untuk memberitahu bahwa aku minta cuti melahirkan, tapi mereka tidak memberiku ijin. Keesokan harinya Renata teman kerjaku menghampiriku ke kos untuk mengantar pesangonku.
"Ini ada titipan dari bos Ngi." Kata Renata sambil menyerahkan amplop berwarna coklat itu.
"Terima kasih ya Ren." Ucapku sambil menerima amplopnya.
"Anakmu cantik Ngi." Puji Renata.
"Makasih ya Ren."
"Setelah ini apa yang akan kamu lakukan Ngi?" Tanya Renata padaku. Pertanyaan yang justru membuatku berfikir sampai hari ini.
"Belum tau Ren. Mungkin aku akan kembali mencari pekerjaan. Tentunya yang mengijinkan aku membawa anak."
"Kamu yang sabar ya. Maaf aku tidak bisa membantu."
Semakin hari uang tabungan dan pesangonku semakin menipis. Tidak ada pemasukan dariku, justru setiap hari pengeluaran terus ada, untuk beli makan, minum, baju bayi, dan yang paling rutin diapers untuk Cilla. Aku terus memutar otakku bagaimana aku bisa mendapatkan penghasilan tanpa meninggalkan Cilla.
Oekk ... Oekkk ......
Kuletakkan kembali cucianku yang baru dapat 3 baju karena tangisan Cilla. Kuberlari dan kuraihnya dalam gendonganku."Cup sayang .. Cupp ..." Kubuka kancing bajuku dan segera kususui Cilla agar tak semakin lama menangis.
Kutatap wajah lucu Cilla. Setelah 5 menit dia kembali tertidur dalam gendonganku. Kuletakkan kembali dia ketempat tidur. Kucium pipinya, tak terasa aku kembali menangis.
"Haruskah sekarang waktunya?" Aku bertanya pada diriku sendiri.
Aku pulang kerumah orangtuaku saat kandunganku berusia 2 bulan. Aku pergi dari rumah suamiku dan pulang ke rumahku di Solo. Aku sengaja disana selama 2 minggu sebelum akhirnya aku berpamitan untuk tidak pulang kerumah selama 1 taun.
"Kenapa kok pulangmu sendiri to nduk?" Tanya ibuku saat aku baru sampai di rumah.
"Mas Moondy sibuk buk." Kujawab seperlunya.
"Kalian sedang tidak bertengkar kan?"
"Aku baik-baik saja buk dengan mas Moondy."
"Yasudah kalau begitu. Kamu istirahat dulu, ibu tak masak dulu buat makan malam."
"Nggeh buk."
Aku memang tak pernah membicarakan bagaimana keadaan rumah tanggaku pada orang tuaku. Aku tidak mau mereka kecewa dan malah membuat mereka kepikiran. Orang tuaku sudah sepuh, aku tidak mau lagi membebani pikiran kedua orang tuaku dengan permasalahan rumah tanggaku. Apalagi mas Moondy adalah mantu kesayangan bapak ibuku. Mereka bahagia sekali begitu keluarga mas Moondy datang dari Semarang melamarku. Mas Moondy ini pemilik usaha cafe disebelah rumahku. Cabangnya ada dimana-mana, kebetulan rumahku ini dekat sama salah satu universitas swasta di Solo. Jadi memang bapak itu sudah sedikit mengenal mas Moondy
KAMU SEDANG MEMBACA
madu dalam perahu
Non-Fictionaku istri sahnya secara negara dan agama. namun bukan hanya aku saja. masih ada gadis ayu yang bernama Bulan yang juga menjadi istri sah negara dan agama.