RUMAH SAKIT

3.6K 115 8
                                    

"Ya-yah ... Ya-yah ... " Cilla terus memanggil-manggil ayahnya Dia terus mengigau sejak mulai tidur. Badannya hangat dari kemarin, aku sudah memberikannya paracetamol, tapi tetap tak membuat Cilla sembuh. Kubawa ke bidan desa tadi sore, katanya jika dalam 3 hari masih panas akan dirujuk ke rumah sakit. Pikiranku sungguh kacau karena itu. Aku merasa tidak berguna sebagai seorang ibu.

Tuttt ...... Tutttt .... Tutttt ...
Kuputuskan untuk menelpon mas Moondy, namun panggilan pertama tak ada jawaban. Mungkin dia sedang tidur karena waktu sudah menunjukkan jam 1 pagi. Tutt ...... Tuttt ..... Tutttt panggilan yang kedua masih tak ada jawaban, sedangkan Cilla masih terus merengek, badannya juga semakin panas. Aku bahkan ikut menangis melihat Cilla yang terus merengek. Dia tak mau turun dari gendongan.

****

"Bagaimana bisa seperti ini ?" Bentak Mas Moondy.

"Kalau kamu gak becus urus Cilla, biar aku yang urus !" Lanjut mas Moondy

"Makanya jangan pacaran terus. Ini akibatnya !" Mas Moondy terus menerus menyalahkanku.

Cilla terpaksa harus kubawa ke rumah sakit karena panasnya terus naik. Ditambah lagi dengan dia muntah-muntah dan diare. Mas Moondy terus menerus menyalahkan aku atas sakitnya Cilla. Disaat seperti ini aku merasa sungguh bersalah pada Cilla. Seharusnya aku kemarin-kemarin lebih fokus mengurus Cilla, seharusnya kuturuti ketika dia mencari ayahnya. Ahh semua ini karena aku menuruti kata-kata Dito. Dito yang memintaku untuk tak menghubungi Mas Moondy, kata Dito jika terus-terusan bertemu mas Moondy justru akan menjadikan Cilla sebagai senjata untuk merebut hak asuh Cilla dariku. Sungguh aku ingin menyalahkan Dito disaat seperti ini, kuhapus pikiran burukku pada Dito tidak seharusnya aku menyalahkannya. Ini salahku. Aku yang tidak bisa menjadi ibu yang baik untuk Cilla.

"Mau dibawa kemana anak saya dok ?" Tanyaku saat melihat Cilla dibawa keruang ICU.

"Kami harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut bu. Silahkan tunggu disini. Permisi." Kata dokter itu.

Selanjutnya mata Mas Moondy memandangku sinis. Seolah-olah akulah penyebab semua ini. Aku tidak mengeluarkan sepatah katapun. Sungguh aku sedang tidak ingin berdebat dengan mas Moondy. Kulihat mas Moondy terus berdiri di depan pintu ICU. Doa-doa tidak henti keluar dari bibirnya, jari-jari tangannya bergerak seperti seolah melafalkan dzikir. Wajahnya begitu panik. Bahkan sesekali dia mondar mandir kesana kemari sambil menunggu hasil pemeriksaan dokter. Baru kali ini aku melihat mas Moondy sepanik itu. Bahkan lebih panik dari saat Arini melabrak Bulan dulu.

"Bagaimana dok ?" Tanya mas Moondy pada dokter begitu keluar dari ruang ICU.

"Putri bapak mengalami sakit muntaber, untung segera dibawa kesini, jika tidak anak Cilla bisa kekurangan cairan." Kata dokter.

"Tolong, berikan yang terbaik untuk anak saya Dok." Kata mas Moondy.

"Baik pak akan kami usahakan yang terbaik."

"Boleh saya melihat keadaan anak saya dok?"

"Nanti setelah dipindah ke ruang inap ya pak. Saya permisi dulu."

"Pulang dari rumah sakit, Cilla aku bawa. Biar aku yang urus. Kalau kamu mau ikut merawat Cilla ikut aku, jika tidak pulanglah, urusi saja urusanmu dengan pacarmu itu !" Perintah mas Moondy.

Sungguh keputusan yang tidak adil menurutku. Cilla anakku. Bagaimana bisa dia berbicara seperti itu. Cilla sakit bukan karena kesalahanku juga. Mana ada ibu yang sengaja membuat anaknya sakit. Sungguh aku tak bermaksud juga untuk membuat Cilla seperti ini.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarrokatuh." Alhamdulillah ini pertama kali aku solat berjamaah bersama mas Moondy setelah hampir 2 tahun kami tinggal berpisah.

Ada rasa yang aneh ketika aku mencium tangan mas Moondy selepas sholat isya kali ini. Rasa yang tak pernah bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Cilla dipindah keruang inap ba'da maghrib. Kondisinya sudah lebih membaik daripada kemarin. Mas Moondy juga sudah mulai melunak. Dia tidak lagi marah-marah seperti tadi pagi.

"Kamu lapar ? Mau makan apa biar aku carikan." Tanya mas Moondy.

"Gak usah mas. Mas aja yang makan." Jawabku.

"Kamu dari tadi siang belum makan. Saat Cilla bangun dia pasti membutuhkan ASI dari kamu. Bagaimana mau ada isinya kalau kamu makan saja tidak mau ?"

"Yaudah kalau gitu, terserah mas Moondy saja."

"Aku pergi dulu ya, kabari aku kalau Cilla kenapa-napa."

"Iya mas."

Aku mendekati Cilla. Dia tertidur nyenyak. Ada rasa aneh ketika aku harus tinggal di ruangan 3x3 ini bersama mas Moondy. Dia memang ayah dari Cilla. Tapi status kita sudah berpisah secara agama. Aku hanya takut jika mas Moondy berfikir lebih dengan adanya kejadian ini.

"Assalamualaikum .... "

"Walaikumsalam ... Dito ?" Jawabku ketika Dito membuka pintu masuk kamar Cilla.

"Gimana keadaan Cilla Ngi ?" Tanya Dito.

"Sudah agak mendingan, meskipun dia belum sadar Dit." Jawabku.

"Yang sabar ya Ngi, ini ujian dari Allah. Aku yakin kamu pasti bisa menghadapinya."

"Amin ... Kamu tau darimana kalau Cilla dirawat di kamar ini ?"

"Tanya tadi sama suster. Kebetulan aku mengingat selalu nama lengkap Cilla. Calon anakku." Ucap Dito yang jujur saja membuatku tak enak hati padanya.

Aku tersenyum.

"Moondy tau Cilla dirawat disini ?"

"Tau Dit. Aku memberitahunya. Dia dari pagi disini. Mas Moondy juga yang bawa Cilla ke rumah sakit." Jawabku penuh ragu.

"Ngi, kenapa kamu tidak memberitahu aku ? Aku bisa mengantarmu ke rumah sakit. Ingat, kalau kamu terus mengharap bantuan Moondy, dia akan merasa kamu tidak bisa tanpa dia."

"Dito maaf, tapi Cilla juga butuh mas Moondy. Cilla manggil mas Moondy terus. Biar bagaimanapun mas Moondy tetap ayah kandungnya."

"Ngi ! Ini hanya sementara. Saat kalian bercerai nanti pertemuan akan semakin jarang, dan Cilla tidak akan mencari-cari Moondy lagi. Aku yang akan menggantikan posisi Moondy. Aku ..... "

"Jangan menjadi seorang penghasut !" Mas Moondy sudah berdiri di depan pintu kamar.

"Jangan pernah mencoba memisahkan ayah dari anaknya. Kalau kamu mau mengambil Pelangi silahkan ! Tapi tidak dengan Cilla !" Mas Moondy masih emosi sambil memasuki ruangan.

"Mas Moondy sudah mas. Pelankan suaramu." Kataku meredam emosi mas Moondy.

"Apa yang Pelangi lakukan dengan menghubungiku itu sudah benar. Karena aku ayah kandung Cilla. Dan aku juga masih sah sebagai suami Pelangi!"

"Mas, udah mas. Ini rumah sakit. Kasian Cilla mas." Aku mencoba menenangkan mas Moondy.

"Aku sudah menuruti permintaan kalian berdua untuk menceraikan Pelangi. Keinginanmu untuk memiliki Pelangi akan segera terkabul Dito. Tapi jangan pernah merebut Cilla dari aku. Sampai aku matipun Cilla tetap anakku. Darah dagingku." Tunjuk mas Moondy pada Dito.

"Mas Moondy sudah mas." Tanpa sengaja aku memegang tangan mas Moondy. Kuelus bahunya agar dia tenang. Tentu saja itu membuat Dito melihatku penuh dengan kecemburuan.

"Suruh pacarmu keluar dari sini. Dan bilang padanya untuk tidak usah menginjakkan kakinya disini. Karena Cilla tidak membutuhkan dia ! Cilla hanya butuh aku dan ibunya!" Perintah mas Moondy tanpa melihat Dito.

"Baik mas. Dito maaf. Sebaiknya kamu pergi dulu dari sini."

"Ngi .... "

"Maaf Dito. Tapi ini demi kebaikan Cilla, aku janji jika Cilla sudah sembuh aku akan secepatnya mengabarimu." Kataku pemuh dengan rasa bersalah.

Dito mengepalkan kedua tangannya. Dia meninggalkan kami. Aku tau dia kecewa, dia pasti berfikir bahwa aku lebih memilih mas Moondy daripada dia. Tapi sungguh ini bukan kemauanku. Ini karena aku tak mau membuat keadaan Cilla semakin memburuk. Aku hanya menjaga suasana agar tetap membaik. Maafkan aku Dito.


madu dalam perahu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang