"Ngi .... Pelangi ... " Bulan mengetuk pintu kamarku.
"Iya Lan ? Ada apa ?" Kubuka pintu kamarku dengan mata yang masih mengantuk.
"Masak yuk. Aku bantuin kamu belajar buat masak makanan kesukaan Moondy."
"Oke. Aku nyisir rambut dulu ya."
Bulan mengangguk dan menungguku di dapur. Aku merapikan kamar dan menyisir rambut terlebuh dahulu sebelum menyusulnya.Sore ini Bulan membantuku memasak untuk Moondy. Dia memberitahuku apa saja makanan dan minuman yang disuka dan tidak disukai Moondy. Kulihat Bulan benar-benar tulus membantuku untuk mendapatkan perhatian dari Moondy.
Baru kutau bahwa mas Moondy menyukai makanan pedas, tapi dia tidak suka makanan yang mengandung minyak. Mas Moondy juga tidak suka ada bawang goreng pada makanannya. Mas Moondy memiliki alergi pada semua jenis makanan laut. Tempe mendoan menjadi makanan favorit mas Moondy. Kerupuk harus selalu ada di meja makan apapun makanannya.
Untuk minuman, setiap pagi mas Moondy lebih suka meminum segelas susu putih dan air putih. Mas Moondy tidak suka susu coklat. Susu putihnya juga tidak boleh terlalu kental dan terlalu encer, takaranpun harus pas, kemanisan sedikit saja dia tidak akan mau meminumnya. Untuk malam mas Moondy lebih suka meminum teh hangat. Mas Moondy suka teh yang bening, dia tidak suka teh yang terlalu kental, karena menurut dia itu pahit.
"Ribet ya Bulan ? Aku gak yakin bisa deh." Keluhku.
"Sabar Ngi, tapi aslinya kalau udah kebiasa ga akan seribet itu kok. Moondy memang orangnya bener-bener susah, salah sedikit saja dia pasti marah."
"Tapi aku bener-bener yakin kalau gak akan bisa Lan."
"Bisa. Kamu harus yakin. Aku akan membantumu. Kita berdua akan bekerja sama ya. Jangan patah semangat." Bulan menyemangatiku sambil menyentuh bahuku.
Tak berapa lama mas Moondy pulang dari kerjanya. Bulan langsung menyambutnya dengan pelukan yang disambut ciuman hangat dari Moondy. Jujur aku iri. Ada perasaan berdesir di dalam hati sana. Ya. Aku cemburu. Aku juga ingin diperlakukan sama seperti Bulan.
Huek ! Moondy memuntahkan teh hangat bikinanku.
"Kenapa pahit begini rasanya ?" Tanya Moondy sedikit marah.
"Masak sih ? Aku coba cicip ya sayang ?" Tanya Bulan sambil mengambil gelas dan mencicipinya di depan kami. .
"Siapa yang membuatnya ?" Tanya Moondy.
"Aku sayang." Jawab Bulan sambil melirikku yang sedang tertunduk.
"Kamu ?" Moondy menatap Bulan penuh selidik. Kemudian dia berganti menatap ke arahku.
"Maaf ya sayang jika terlalu kental. Apa perlu aku tambah air putih lagi biar lebih encer ?" Tanya Bulan. Jelas dia ingin menutupi kesalahanku.
"Kamu ya yang membuatnya ?" Tanya Moondy langsung menatapku dengan tatapan sedingin es.nya
"Iya. Aku yang bikin." Jawabku sambil menahan sedikit emosi di dada."
"Kalau gak bisa masak gak usah bikin! Bikin hilang mood makanku!" Bentak Moondy.
"Sorry!" Aku langsung meninggalkan Moondy dan Bulan dari meja makan.
Aku bener-bener kecewa dengan perlakuan mas Moondy. Sungguh sedikitpun dia tak menghargai usahaku untuk mendapat perhatian dan keadilan dari dia.
Sejujurnya aku lapar. Tapi aku malas untuk keluar kamar. Aku benci jika harus bertemu dengan mereka. Samar kudengar Bulan mengatakan kepada Moondy agar tak terlalu kasar kepadaku. Agar Moondy juga memberikan perhatian kepadaku. Agar Moondy juga berlaku adil padaku. Tapi jawaban Moondy sungguh membuatku semakin terluka. Dia bilang dia tidak membutuhkanku. Ada tidaknya aku tidak penting untuknya. Marah tidaknya aku juga tidak mempengaruhi masa depannya.
Sungguh tidak tenang tidurku malam ini. Perutku benar-benar keroncongan. Kubuka sedikit pintu kamarku, sudah gelap, itu berarti mereka sudah tertidur di kamar meraka di lantai atas. Kuputuskan keluar untuk mencari makanan di kulkas atau membuat mie instan. Tapi rasa laparku menghilang seketika ketika aku mendengar rintihan nikmat dari suara Bulan diatas sana. Inginku tidak mendengarnya, tapi suara itu makin jelas. Mata dan otakku tidak bisa diajak bekerja sama. Otakku memerintahkan untuk tidak melihat ke lantai dua. Tapi mataku sungguh penasaran dimana letak sumber suara itu. Dan benar saja, aku melihatnya, melihat Bulan dan mas Moondy menyatu di bibir tangga atas. Melihatnya aku langsung bergidik ngeri. Aku mundur kembali ke dapur agar mereka tak menyadari kehadiranku. Dengan mengendap aku berjalan kembali menuju kamarku. Sesaat sebelum masuk kamar aku mendengar erangan dari mas Moondy yang menandakan bahwa dia sudah sampai puncaknya. Dan aku iri dengan itu.
***
Selepas adzan subuh Bulan membangunkanku untuk mengajakku kembali membuatkan makanan untuk mas Moondy. Sejujurnya aku malas melakukannya, tapi Bulan terus membujukku. Akupun kembali melakukannya, dan kembali lagi, respon mas Moondy tidak jauh berbeda dari kemarin malam.
"Sabar ya Ngi. Aku dulu juga begitu."
"Benarkah ?"
Bulan mengangguk
"Tapi pasti tidak diiringi dengan makian dari mas Moondy kan ?"
"Kata siapa ? Sering banget tau. Moondy juga pernah memakiku. Aku juga pernah sakit hati. Tapi aku terus belajar. Butuh waktu sampai 1 taun untuk aku belajar memahami dan mengerti bagaimana Moondy."
"Sesabar itu kamu ?"
"Karena aku mencintainya Ngi. Kamu juga mencintainya kan ?"
Aku menatap nanar Bulan. Pertanyaannya sulit untuk kujawab. Aku bingung apakah aku mencintai mas Moondy atau tidak.
"Tapi mas Moondy mencintaimu Bulan."
"Nanti Moondy juga akan mencintaimu. Kamu sabar ya?"
"Aku tidak yakin apakah aku mencintai mas Moondy apa tidak." Kataku.
"Kalau kamu tidak mencintainya tidak mungkin kan kamu bertahan sampai sekarang ?"
"Kamu butuh waktu satu tahun untuk mengerti mas Moondy. Dan aku sudah 10 bulan berusaha mengerti dia. Tapi hasilnya ?"
"Sabar ya Ngi. Semua butuh proses."
***
Rumah sepi. Moondy kerja. Bulan juga kerja. Segala pekerjaan sudah kubereskan. Mengepel rumah, mencuci piring, menyapu halaman, menyetrika pakaian sudah kulakukan. Aku bosan dirumah seperti ini terus. Kucari ijasahku di dalam lemari. Aku tulis sebuah lamaran pekerjaan. Aku buat sebanyak-banyaknya surat lamaran. Aku sudah memutuskan untuk mencari pekerjaan. Dimanapun dan bagaimanapun pekerjaannya aku akan tetap mencari kerja. Aku tidak bisa terus-terusan dianggap pembantu seperti ini oleh Moondy. Aku juga tidak bisa terus-terusan mengandalkan kebutuhan lahirku pada Moondy. Meskipun Moondy tak pernah terlambat mentransferku tapi aku harus bisa mandiri, agar jika suatu saat aku bercerai darinya aku masih bisa menghidupi orang tuaku.
Bercerai ? Iya. Aku akan bercerai darinya jika waktunya sudah tepat. Jika aku sudah siap menceritakan semuanya pada orang tuaku. Aku janji akan meninggalkan Moondy dan Bulan. Bahkan jika sudah selesai urusan diantara kami, aku tidak akan mau mengenal mereka lagi. Sudah cukup bagiku untuk mewujudkan keinginan almarhum kakeknya Moondy, toh sudah kulakukan, perkara kehidupan kami seperti apa setelahnya sudah tak kuperdulikan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
madu dalam perahu
Non-Fictionaku istri sahnya secara negara dan agama. namun bukan hanya aku saja. masih ada gadis ayu yang bernama Bulan yang juga menjadi istri sah negara dan agama.