HAMIL

7.8K 348 1
                                    

"Moondy tidak menjemputmu nduk?" Tanya bapakku saat aku berpamitan pada kedua orang tuaku.


"Mboten buk, tadi malam mas Moondy telfon mau jemput aku di terminal Semarang." Jawabku berbohong. Jelas Moondy tak mungkin menelponku, apalagi dia mencariku. Dia pasti sudah sibuk dengan kehidupannya di sana.


"Yasudah kamu hati-hati ya dijalan. Nanti kalau sudah sampai telpon bapak ya."


"Njeh pak, buk. Assalamualaikum."


"Walaikumsalam." Jawab mereka bersama saat aku mulai memasuki bis umum.


Sepanjang perjalanan aku tak berhenti menangis. Pikiranku buntu. Aku tak tau harus kemana lagi untuk berbagi cerita. Niatku ingin minta ijin bercerai dari Moondy, tapi maju mundur aku bilang itu pada bapak ibuku. Hingga akhirnya malah aku tau kalau aku hamil seperti ini, jelas ayah dan ibuku tidak akan setuju kami bercerai. Dan Moondy, jika dia tau aku hamil anaknya dia pasti tidak akan menceraikan aku. Dan itu justru akan membuatku semakin tersiksa dan terpuruk didalam rumah tanggaku. Sudah cukup aku tersiksa, sekarang aku tak ingin lagi melukai batin dan ragaku.


Berbulan-bulan aku hidup sendiri tanpa teman, sanak dan saudara di kota Karanganyar ini, di kota kecil yang penuh dengan tempat wisatanya ini. Aku sengaja memilih tempat ini untukku menenangkan diri, menyambung hidupku, dan memikirkan masa depanku. Aku butuh waktu akan kuapakan kehamilan ini. Kubiarkan dia tumbuh membesar di rahimku, atau kubuang jauh-jauh dia dari rahimku.


"Selamat bu, kehamilan ibu sudah menginjak 7 minggu." Kata Bidan Sari dengan ramah.


Jika sebagian orang akan bahagia dengan kehamilannya, maka tidak dengan aku, aku benci kehamilanku. Apalagi jika ini adalah darah daging Moondy. Meski dia suamiku. Tapi aku membencinya.


"Tidak bisakah aku membuang bayi ini bu ?" Tanyaku pada bu bidan.


Bu Sari melihatku dengan tatapan serius. Tak berapa lama dia tersenyum, kemudian mendatangiku dan mengelus rambutku.


"Dia tidak berdosa, dia masih terlahir suci. Jangan biarkan kamu melampiaskan permasalahanmu kepada bayi yang tidak berdosa itu." Kata Bu bidan yang membuatku menitikkan air mata menyesali perkataanku.


"Rawatlah dia, sayangilah dia. Dia yang akan mengubah hari-harimu, dia yang akan membuatmu selalu rindu rumah, nanti jika dia sudah bergerak dan menendang kamu akan semakin mencintainya." Kata bu Sari.


Aku sungguh tersiksa pada saat trisemester pertama, anak ini sungguh menyiksaku. Setiap hari aku hanya mual-mual terus, makan ini makan itu selalu setelahnya muntah. Badanku menjadi kurus karenanya. Ditempat kerjapun aku jadi sering istirahat karena badanku yang tiba-tiba lemas, tak jarang bosku memarahiku, apalagi aku ini termasuk karyawan baru di supermarket ini.


"Kamu ini wanita panggilan ya?" Tanya bu kos sore itu.


"Kok ibu bisa bilang seperti itu ?" Tanyaku agak sedikit emosi.


"Buktinya kamu hamil, itu pasti anak salah satu pelanggan kamu kan ?"

madu dalam perahu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang