Kalau bisa, Bianca tidak akan suka berada di tempat ini lama-lama. Sungguh, asap rokok yang mengepul dari setiap bilik warung internet ini membuatnya sesak napas dan batuk. Berkali-kali gadis itu menggerutu sebal, berharap ada secercah harapan agar seluruh orang dalam ruangan empat kali tiga meter ini mematikan rokoknya.
"Uhuk ... uhuk ... uhuk." Bianca terbatuk keras. Tujuh puluh persen memang batuk sementara tiga puluh persennya paksaan demi mendapat perhatian. Setidaknya, orang-orang itu masih mau peduli pada gadis yang tidak kuat pada asap rokok—pikirnya . Tapi percuma saja, berharap pada perokok yang sedang nyaman-nyamannya itu seperti menunggu Upin dan Ipin mendaftar kuliah atau Nobita naik kelas.
"Emang apa sih untungnya ngerokok? Bikin polusi, bikin sesak napas, bikin batuk, gigi kuning, mata merah, bibir pecah-pecah dan gusi berdarah—eh, kok malah kayak iklan!" Bianca mendesis menyadari kalimatnya. Sesekali melirik keluar bilik berharap ada satu atau dua orang yang mematikan rokook. Persediaan udara di ruangan ini semakin menipis meski dua jendela persegi ukuran satu meter terbuka lebar. Lagi-lagi, harapan itu hanya pembuktian semu, orang-orang itu malah bersiap membakar lagi saat yang miliknya sudah sampai ujung.
Bianca hampir menangis sekarang. Kenyataan bahwa orang-orang tidak peduli padanya yang terus terbatuk membuat gadis itu tersenyum kecut. Hatinya berdenyut sakit hanya karena hal sepele yang bisa membunuh banyak orang. Sering terselip niat dalam hati untuk menghapuskan rokok dari daftar produksi barang di Indonesia. Tapi, hei, rokok termasuk penyumbang terbesar pendapatan indonesia.
"Akhirnya." Helaan napas lega Bianca berbarengan dengan ditekannya tombil yes sebahai konfirmasi bahwa ia sudah selesai menggunakan komputer dan bersiap pulang. Menyebalkan sekali memang, laptopnya baru tutup usia lima hari lalu, sang kakak yang peltnya minta ampun susah sekali dipinjam. Katanya banyak tugas, banyak yang diketik, dan banyak lainnya padahal hanya asyik rebahan sambil menjulidi teman dan kepoin gebetan di instagram pakai akun palsu.
Bianca melangkah ringan keluar bilik sambil memutar-mutar flashdisk merk Toshiba warna hijau-kebiruan dengan gantungan tali panjang berbandul huruf B. Namun, baru saja kakinya melangkah keluar, Bianca kembali membalik tubuh. Orang-orang dalam bilik ini perlu diberi sedikit pencerahan. Karena lampu yang menyala bahkan saat siang hari di ruangan ini tak cukup menjadi penerangan bagi mereka.
"Kalian bisa baca gak sih? Perlu balik TK buat baca?" tanya Bianca entah pada siapa, mungkin seluruh penghuni ruangan sempit nan pengap ini. "Udah tau rokok membunuhmu, masih aja dikonsumsi. Kalau udah sekarat aja nangis-nangis nyesel. Heh, mau mati juga bukannya tobat malah meratapi nasib, gak guna!" omelnya lagi sambil berkacak pinggang.
Setelah menyelesaikan omelan, Bianca hendak berbalik. Namun, sekali lagi ada yang menahannya. Celetukan kelewat ringan dari pemuda yang seumuran dengannya. Yang tersenyum miring, berdiri bersandar pada tembok dan bersendekap, meremehkan.
"Membunuhmu, kan. Bukan membunuhku."
Kalimat Bianca dikembalikan. Menyebalkan memang tulisan yang tertera pada bungkus rikok itu, beda yang mengucapkan, beda juga artinya.
"Menbunuhmu, kan. Bukan membunuhku," balas Bianca tak mau kalah. Ikut bersendekap dengan satu kaki di tekuk lebih rendah. "Ngebunuh lo dan bukan gue!" lanjutnya tak sabaran. Enak saja, ia bukan perokok, justru pemerang rokok. Cium bau asapnya saja sudah betuk-batuk, apalagi merokok.
"Lo perokok pasif," beri tahu pemuda itu.
Kini, keadaan ruangan sedikit lebih lenggang. Jika tadi ada yang tanya-tanya tentang tulisan yang benar, permainan yang seru, atau video youtube, sekarang semuanya terdiam bungkam. Satu dua menekan putung rokok yang menyala pasa asbak dan meletakannya di sana. Lainnya justru membuka mulut dengan asap rokok yang keluar berbentuk lingkaran. Sisanya lagi memilih tak acuh.
"Lo perokok aktif. Dan sisa lo hidup—"
"Faktanya perokok pasif jauh lebih besar resikonya." Pemuda itu tersenyum senang memdapati Bianca terpaku di tempat. Seolah kalah akan pernyataannya barusan.
Di luar dugaan, bukannya pergi keluar sambil menhentak kaki kesal, Bianca justru cepat menghampiri pemuda yang sejak tadi mendebatnya. Tangan gadis itu lincah menyambar ponsel dalam genggaman tangan besar itu lalu menghidupkan lockscreen bergambar permainan legendaris dari google chrome.
Dilihatnya informasi pemilik yang tertulis kecil di bagian tengah pinggir layar Safir. Bianca tersenyum miring, mengembalikan ponsel pada pemiliknya yang terkejut. "Kita liat, siapa yang bakal kalah lebih dulu sama rokok," tantang Bianca sebelum pergi.
Jadilah hari itu menjadi kisah awal pertemuan Bianca dengan Safir. Dua orang dengan kepribadian berbeda yang mungkin menjadi perpaduan apik di masa depan. Safiril Mahendra dan Bianca Althea Maharani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Rasa : Pergi
Teen FictionKadang menjadi begitu terlambat menyadari sesuatu akan membekaskan rasa sakit yang tak lekang oleh waktu. Saat cerita yang kelewat singkat dilalui menghantarkan pada sakit yang menghantui. Safir sudah merasakannya. Dua kali dalam hidup ia seperti di...