BAB 14

1 0 0
                                    

Masih pukul enam pagi dan Nila menemukan sosok paling dibencinya saat ini. Safir dengan gaya yang membuat Nila muak sedang duduk bersandar pada motor. Helm hitam pemuda itu diletakan sembarang di jok belakang, sementara tangannya membawa helm merah untuk Nila.

"Pagi."

Sapanya kaku. Seperti belum pernah berkenalan dan tahu tingkah laku. Nila mencoba menahan diri untuk tak terpaku. Setengah hatinya memang masih sakit, tapi separuhnya memuja Safir begitu apik.

Maka, Nila lebih memilih mendekati mobil yang ia parkir depan rumah, mini cooper merah yang mengkilat sehabis dicuci. Gerbang sudah dibuka Pak Yadi, Nila hanya tinggal melaju. Tapi Safir di depan sana seakan ingin beradu, pemuda itu diam membeku.

"Minggir gak lo!"

Nila berteriak, klakson mobil menyusul sedetik berikutnya. Dan Safir seakan tak peduli. Pemuda itu justru semakin pasang badan. Motornya yang tepat di deapn gerbang tak dimundurkan atau dimajukan sedikitpun.

"Aku mau nganter kamu, Nil. Pesan dari papa."

"Terus? Dengan lo bicara kayak gitu gue peduli? Minggir!"

Pak Yadi yang sejak tadi menjadi penonton membisikan sesuatu pada Safir, seperti penawaran. Namun pemuda itu tetap kukuh, tujuannya datang adalah menjemput dan mengantar Nila. Bukannya bertandang tanpa hasil yang ia harapkan.

"Budek apa tuli, sih?! Lo gak denger gue ngomong apa? Minggir atau gue tabrak!"

Safir mengangguk. Jelas sekali malah. Setiap lontaran kalimat Nila yang sarkas dan luka membekas yang dihasilkannya begitu jelas. Safir pun tak repot-repot menunjukkan wajah sok tegarnya, di depan Nila ia bisa menjadi manusi terlemah abad ini.

"Mas Safir, minggir dulu, Mas. Ini mbak Nila mau pergi." Pak Yadi membujuk, tapi Safir justru tak mau terbujuk. Niatnya sudah paten sejak awal. Ia tak mau pergi begitu saja tanpa Nila di boncengan.

"Bodo amat! Gue tabrak mati juga lo!" sentak gadis itu tak peduli. Deru mesin mobil terdengar bersahutan kemudian. Bohonh jika Safir bilang tidak takut, nyatanya, sebagian tubuhnya sudah gemetar memberi sinyal bahaya. Segera menjauh! batinnya memberitahu. Pak Yadi semakin gencar mendorong Safir, sementara motor pemuda itu sudah dipinggirkan sejak tadi, tinggal si pemilik yang bebalnya setengah mati.

Mobil melajut tanpa halangan. Nila di dalamnya seolah tak peduli kepada Safir yang masih pasang badan di depan gerbang. Kalau tidak mau pergi, yang biar dirinya yang mengusir. Ke neraka sekalian kalau bisa, pikiran jahatnya mulai merasuki.

Beruntungnya, Pak Yadi cepat menarik Safir hingga jatuh berdebam di aspal. Pria paruh baya itu mencak-mencak bersama segelontor ceramah yang masuk telinga kanan Safir, lalu keluar telinga kiri.

"Saya pamit, Pak," ucapnya pelan tak mau tahu. Meninggalkan Pak Yadk dengan berbanjar-banjar nasehat yang belum sempat terlontar. Baru saja Safir hendak memakai helm, ponselnya bergetar pelan di saku celana, Krisna.

Mengerutkan dahi, Safir bertanya-tanya apa yang membuat Krisna meneleponnya sepagi ini. Lantas segera mengangkatnya sebelum di penelepon kesal dan mematikan panggilan.

"Jemput Bianca."

Tanpa mau basa-basi, Krisna mengutarakan apa yang hendak ia katakan. Safir merengut, hidungnya mengkerut sampai dahi.

"Buat apa-apaan? Biasanya juga--"

"Dia ngambek. Gue pulang tengah malem kemarin. Dan sekarang dia jalan sendirian. Lo pura-pura lewat situ terus tawarin goncengan."

Safir mendecak. "Ogah, mending sama nenek-nenek pinggir jalan ketimbang sama nenek lampir."

Suara helaan napas Krisna terdengar mengerikan di telinga Safir. Mungkin, tapi Safir seperti merasakan ada bahaya yang mengancamnya di ujung sana.

Elegi Rasa : PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang