Setelah meninggalkan Nila bersama bekas tamparannya, Safir segera membawa Bianca ke UKS. Bianca memang tak mengeluhkan sakit, tapi bercak darah di kaos kaki putihnya menunjukkan bagaimana keadaan kaki gadis itu sekarang. Pun tamparan dari Nila yang membekas telapak tangan. Sumpah, andaikan Nila bukan perempuan, Safir akan dengan senang hati membogem gadis itu.
Sampai di UKS, Safir segera mendudukan Bianca di salah satu ranjang. Kemudian dirinya pergi mengambil kotak P3K yang biasanya diletakan di lemari dekat meja penjaga UKS.
"Tahan ya." Safir mendongak menatap Bianca yang menundukkan kepala. Pemuda itu lantas mengeluarkan botol alkohol, betadine, kapas dan sebuah plester. Safir mulai membersihkan darah di kaki Bianca, lalu berlanjut memberikan kapas dengan alkohol yang membuat gadis itu berjengit sakit.
Safir mendongak lagi. Mata merah Bianca seolah bisa menumpahkan air mata kapan saja. Dalam helaan napasnya, Safir terdengar menyesal. Lalu kembali melanjutkan membersihkan luka Bianca seraya berkata, "Kalau sakit bisa jambak aku, Bi. Atau apapun, kamu bisa nangis juga."
Tepat setelah kalimat itu selesai, Safir merasakan tetesan air mata Bianca mengenai punggung tangannya sedang sibuk mengobati.
Setelah menghela napas untuk meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja, Safir melanjutkan kegiatan.
Air mata Bianca semakin deras. Punggung tangan Safir hampir basah sepenuhnya pun pergelangan kaki Bianca. Di lantai, butiran air mata itu sudah sedikit menggenang."Udah selesai, pasti udah gak sakit lagi, kan?" Senyum cerah Safir tersungging sebentar di bibir. Bianca tetap menangis, sudut hatinya ikut murung sedih yang berimbas pada wajahnya yang tak lagi berseri.
Safir mendekat, pemuda itu merapatkan tubuhnya pada Bianca, memeluk penuh kasih sayang. "Maafin aku udah bawa kamu ke masalah kayak gini." Tangan pemuda itu mengelus rambut Bianca pelan sekali, seperti setiap elusannya menghantarkan afeksi hangat dan tenang.
"Kamu jahat," lirih Bianca setelah lama diam. Ujung hatinya serasa dicabik setelah bergulat dengan kejadian pagi tadi. Kecurigaan yang sempat dihapus kembali muncul tanpa bisa dicegah. Setelah kemarin melihat Safir bersama Nila dan sekarang dirinya menemukan pemuda itu sedang berpelukan--meski hanya paksaan--tak ubahnya menyakiti Bianca. Dan air mata itu meleleh semakin hebat.
Safir tak lagi berkata. Sekuat apapun, semanis apapun bahkan sebanyak apapun ia meminta maaf, kesalahannya jelas tetap mendominasi. Melihat bagaimana Bianca menangis tersiksa dengan rasa sakit mengiringi bukanlah hal baik di pagi hari.
Safir ikut tersakiti.
Pelukan itu berlangsung lama. Bianca menangis semakin tersedu. Tak lagi peduli pada seragam Safir yang basah. Tak lagi peduli pada matanya yang bengkak sakit. Tak lagi peduli jika petugas UKS tiba-tiba masuk dan beranggapan lain.
"Ka–kamu gak mau cerita sesuatu ke aku?" Bianca bertanya. Gadis itu masih sesenggukan. Mata merahnya menatap langsung pada netra Safir yang bergetar sakit. Sepertinya, pemuda itu juga merasakan apa yang menjadi kesedihan Bianca. Turut hancur bersama buliran air mata yang jatuh.
Lama Safir terdiam. Pemuda itu, setelah semua yang terjadi pagi ini melupakan niat awal untuk berterus terang. Otaknya kadang bisa menjadi begitu lamban, dan kini, seperti es batu, benda itu sempurna membeku tanpa tahu apapun.
Safir bingung, alisnya menukik tajam dengan pandangan bertanya yang tergambar nyata. "Cerita apa?" tanyanya balik.
Dapat dilihat, embusan napas Bianca yang terdengar semakin frustasi belum juga mengembalikan akal sehat Safir. Hingga gadis itu berucap dengan nada tajam dan tinggi, "Soal kamu bohong kemarin? Gak mau cerita? Soal kamu yang berduaan sama Nila di Alfamart, kamu gak mau cerita?" Bianca kembali tergugu. Tangan-tangan gadis itu mencengkeram pinggiran kasur dengan erat hingga buku kukunya memutih. Menundukkan kepala dengan rambut terurai ke depan, air mata itu memilih jatuh ke atas rok sepanjang lutut milik Bianca. "Kamu kenapa gak bilang sejujurnya sama aku?! Kenapa kamu gak langsung jelasin pagi ini?! Kenapa kamu mendadak sok bodoh waktu aku tanya?" Lalu melemah di akhir. Bianca tak kuat, oksigennya menipis sementara hatinya tercekik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Rasa : Pergi
Ficção AdolescenteKadang menjadi begitu terlambat menyadari sesuatu akan membekaskan rasa sakit yang tak lekang oleh waktu. Saat cerita yang kelewat singkat dilalui menghantarkan pada sakit yang menghantui. Safir sudah merasakannya. Dua kali dalam hidup ia seperti di...