BAB 5

2 1 0
                                        

Kekesalan hati Bianca belum mereda meski sudah berdiam diri cukup lama di tempat ini. Kesiur angin yang menerbangkan rambut terasa ringan walau tak berhasil menerbangkan perasaannya yang kalut. Seumur hidup, baru kali ini ia merasa kesal sekesal-kesalnya pada sosok Adam. Ia tak apa jika pemuda itu mengganggunya, asal bukan perasaan.

Meski jika ditelisik lagi, dirinyalah yang menjadi sumber kekacauan tadi. Tapi bukankah Adam membalasnya sedikit keterlaluan? Pemuda itu seperti tidak tahu bagaimana hati Bianca jungkir balik hanya karena pernyataan impulsif tidak berguna itu. Terkejut, memang apalagi yang bisa Bianca rasakan selain keterkejutan yang mendominasi. Membuat apa yang dulu-dulu ia lakukan bersama Adam tampak salah. Bahkan ia rela berenang dalam lautan ingatan hanya untuk mencari kenangan yang mungkin membuat Adam merasa spesial, lebih dari seorang sahabat. Namun, bahkan setelah selama itu, semuanya tetap biasa saja, setidaknya bagi Bianca.

Di tengah lamunnannya yang merenggut Bianca dari dunia nyata, gadis itu mulai merasakan sesuatu yang aneh pada udara di sekitarnya. Tanpa bertanya pun Bianca tahu, udara berasal dari benda yang amat dibencinya, rokok. Menolehkan kepala ke belakang dan ke samping, Bianca hampir tak menemui titik terang dari mana asap itu berasal. Tempat ini lenggang. Hanya dirinya juga beberapa semut kecil di ujung pembatas.

Barulah sekitar beberapa menit mengendus dan memperhatikan dengan seksama, Bianca menemukan pelakunya, dibalik tong-tong besar di sudut kanan, asap rokok mulai menunjukkan wujudnya diterpa cahaya matahari.

"Lo lagi, sih!" bentak Bianca menimbulkan kekagetan pada Safir. Sebenarnya Bianca juga kaget, satu tahun setengah bersekolah di sini, ia belum pernah mendapati sosok Safir berkeliaran di area sekolah. Dan tiba-tiba menemukan pemuda itu di sini? Sungguh, dunia sedang membuat cerita yang lucu sekali untuk hidupnya.

Yang disentak tersedak asap rokok. Batuk mendominasi suasana lenggang itu, bahkan hingga sang pemuda menepuk dada kuat-kuat, rasa itu tak kunjung hilang. Dadanya sakit sekaligus panas karena rokok kebangaannya.

"Terus kenapa? Bukan sekolah nenek moyang lo, kan?" balas pemuda itu penuh tekanan sebelum sedikit menjauh. Bianca itu bar-bar, senggol sedikit bisa kena bacok dirinya. Jadi daripada mengambil resiko, mencegah itu lebih baik.

"Ya lo pikir nenek gue sekaya apa bisa punya sekolah semahal ini?" Bianca bertanya menantang. Dagunya sedikit naik dengan tangan terlipat di depan dada. Lagi-lagi mendongak karena tingginya yang tak cukup jika menunduk. Mana mungkin ia marah-marah sambil melihat sepatu pemuda itu, bukannya takut malah jadi bahan tertawaan dirinya.

"Ya mana gue tau, kekayaan kakek gue aja gue gak tau."

"Lo kan emang gak tau apa-apa. Hal sebahaya rokok aja lo anggep remeh," ketus Bianca dengan wajah dingin. Sedetik kemudian, ekspresi itu berubah menjadi lebih kaku juga tegas. "Maaf ya, di sekolah ini ada larang biar gak ngerokok."

Safir mengidikan bahu tak acuh. Siapa peduli, asal tidak ketahuan tidak akan apa-apa, bukan? Tentu saja jika Bianca mau membungkam mulutn yang sejenis dengan ember hitam di rumahnya.

"Peraturan ada buat dilanggar." Safir berkata enteng sambil menyesap rokoknya lagi. Mengeluarkan asap perlahan seolah menikmati setiap helaan yang dikeluarkan. Sementara Bianca, gadis itu sudah seperti kesetanan terbatuk-batuk hingga duduk dan memukul dada. Sialan, asap rokok selalu saja membuat hatinya berdenyut sakit. Ingin menangis dan berteriak meraung meminta benda laknat itu di bumi hanguskan.

"Lebay amat," komentar Safir yang justru mengundang Bianca berdiri sambil mengibaskan tangan di depan wajah, menghalau asap rokok yang seolah menyerang indera penciuman hingga paru-paru.

"Sorry, kayaknya lo harus beli rokok lagi deh." Dengan lancang, Bianca menjamah saku baju Safir yang digunakan sebagai tempat rokok. Merebut benda persegi panjang itu paksa bersama rokok yang dihisap pemuda itu.

Elegi Rasa : PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang