BAB 8

1 0 0
                                    

Safir terpengkur dengan kalimanya sendiri hingga tidak tahu bahwa rumahnya sudah tampak di ujung jalan. Sang bunda sedang menyiram tanaman di depan menggunakan selang berawarna merah muda yang mentereng sekali di atas rumput hijau.

"Udah pulang?"

Safir mengangguk menjawab pertanyaan retoris itu, kemudian mencium tangan bunda yang bau tanah. "Bunda masak apa? Safir laper, Bun."

Budanya menyengir dan Safir tidak merasa ada kabar baik di sana. Bundanya bukan tipe yang suka marah-marah, tapi juga bukan tipe orang yang suka cengar-cegir tidak jelas seperti sekarang.

"Gak masak."

Bisa dengar demo cacing perut Safir yang semakin menggila? Plang dan spanduk minta jatah makan sudah tidak berguna di dalam sana. Berganti bara api yang terasa membakar perutnya yang mulai memanas. Masa mengamuk semakim ramai, perutnya berbunyi panjang yang membuat bunda tekekeh.

"Kamu beli sendiri ya, uangnya ada di atas kulkas."

Tak ingin mendebat lebih banyak, Safie kembali mengangguk. Iya deh, daripada kena semprot bunda. Pikirnya dalah hati.

***

Jam tujuh malam dan gerimis sedikit banyak membuat jaket Safir basah bagian pundak dan depan. Sejak pulang sekolah tadi dirinya hanya tiduran sampai benar-benar tertidur lama sekali. Lupa akan perutnya yang keroncongan minta diisi. 

Tadi setelah bangun tidur, Safir lantas pergi ke ruang makan, biasanya bunda menyiapkan makan malam dengan menu beravriasi. Tapi jangankan satu, tempe goreng biasanya saja tidak ditemukan. Meja dari kayu jati itu sempurna lenggang tanpa siapa-siapa juga apa.

Lantas merasa bingung karena tidak menemukan presensi orang tuanya, Safir beranjak ke atas, kamar orang tuanya. Tapi mereka tidak di sana, juga tidak berada di ruang tamu. Rumah itu sepi sekali malam ini. Hanya Safir, semut dan kecoa yang terselip di balik tembok atau ubin, juga suara jangkrik dan senandung angin malam.

Merasa putus asa, akhirnya Safir menuruti kalimat bundanya tadi siang. Beli makan sendiri. Saat mengambil uang di atas kulkas, pemuda menemukan secarik kertas berisi kata pamit, Safir mengembuskan napas lelah. Orang tuanya pergi ke pernikahan temannya. Pantas saja tidak masak, ada acara makan gratis ternyata.

"Sering banget hujan," gerutu Safir sampai di depan pintu alfamart. Menepuk-nepuk jaket dan training guna menghilangkan tempias hujan yang terasa dingin. Dan berkali lipa rasanya saat diterpa angin.

Selesai dengan kegiatan kecilnya, Safir menarik pintu alfarmt bersamaan dengan seseprag mendoring pintu sebelahnya. "Bianca?"

Yang dipanggil spontan mendongak dengan wajah kaget. Gadis itu salah tingkah, apalagi mengingat kejadian tadi siang. Rasanya ingin menggelamkan diri di palung Mariana sampai hancur. Memalukan!

"Beli apa?"

Bianca mengangkat kersek putihnya sdbatas bahu sambil tersenyum kecil. "Susu sama roti. Lo?"

"Apa aja asal bisa dimakan."

Sedetik berikutnya Safir berlalu begitu saja meninggalkan Bianca yang menahan kekesalan. Jawab yang lebih spesifik tidak bisa ya? Membeli minum misalnya?

Tak mau menggerutu lebih lama di depan pintu, Bianca akhirnya ikut pergi. Gadis itu memilih duduk di bangku yang berada di depan alfamart. Meletakan keresek putihnya, lalu mengeluarkan sebungkus sari roti rasa coklat dari sana. Bianca belum makan malam, kakaknya yang kelewat menyebalkan itu belum pulang dari latihan basket--mungkin. Karena bisanya, Bianca akan menemukan kakaknya sedang berbaring di sofa karena kelelahan. Tapi malam ini, jangankan orangnya, sepatunya saja tidak ada.

Elegi Rasa : PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang