BAB 15

1 0 0
                                        

"Di mana?" Dahi Bianca mengerut kala Safir memberhentikan laju motornya di depan bagunan yang tampak tua. Jujur, ia takut sekarang. Serumit-rumitnya masalah yang ia punya, tak pernah sekaliphn Bianca berpikir ingin mengakhiri hidup. Dan tempat ini, seperti tempat untuk mengakhiri hidup. Bianca gentar sekarang.

"Greenhouse punya keluarga gue," beri tahu Safir dari belakang. Motor pemuda itu diparkir di samping gedung, sebuah garasi yang tampak reot dan sebenatar lagi runtuh.

Dahi Bianca semakin terlipat, dilihat dari arah mana pun, tempat ini lebih mirip rumah kosong tak berpenghuni yang habis dipakai bunuh diri ketimbang greenhouse yang indah.

"Lo mau diem di situ atau ikut masuk?"

Safir menunggu, di ambang pintu yang terbuka sedikit. Dari sini, Bianca sedikit mengetahui, ada sulur-sulur tanaman di dalam sana yang mencoba keluar, namun akhirnya malah merambat di balik pintu karena tak menemukan jalan keluar.

Satu anggukan dari Bianca membuat Safir membuka pintu lebih lebar, gadis itu lantas mengikuti. Sejenak, rasa takut tadi berubah menjadi kekaguman yang luar biasa. Bianca saja sampai terpaku jika tidak segera ditarik Safir untuk masuk ke dalam. Ternyata, dua meter dari pintu masuk masih ada pintu lagi yang lebih terawat, di cat hijau dengan aksen putih di ujungnya.

Lagi-lagi, Bianca terpaku lama. Jika di ruangan yang tadi hanya ada tanaman merambat dengan bunga warna kuning, di ruangan ini justru ada lebih banyak lagi. Sekitar dua puluh atau lebih jenis bunga, banyak yang Bianca tidak tahu apa namanya. Sebagian yang ia tahu hanya anggrek, mawar dengan lima macam warnanya, melati, lili dan kesukaannya, bunga matahari.

"Tempat ini kakek gue yang buat." Safir tiba-tiba berujar, lalu maju ke depan hingga berada di samping kolam buatan yang cukup besar, lebih mirip danau buatan. Bianca ikut duduk, lanjut mendengarkan, "Buat ngelamar nenek dulu. Perjuangannya gede banget, kan? Gitu aja mbah buyut masih gak nerima, katanya kurang serius." Safir tertawa, sementara Bianca tidak mengerti bagian mana yang patut ditertawakan. "Kalau anak zaman sekarang cuma modal 'gue sayang sama lo, mau gak jadi cewek gue?' Kalau gak gitu, 'Aku gak bisa tanpa kamu', cih, gue aja masih bisa napas normal walaupun ditolak Nila berkali-kali."

Bianca hendak tertawa sebelumnya, namun kala nama Nila ikut andil dalam percakapan itu, Bianca urung. Nila jelas seberharga itu bagi seorang Safir. Dan dirinya, yang entah sejak kapan membudidayakan rasa suka dan sayang berpupukkan nama Safir hanya mampu menelan fakta pahit, dirinya tak begitu dianggap.

"Gue biasanya ke sini kalau punya masalah," kata Safir berikutnya. Sekarang, pemuda itu memandang lekat wajah ayu Bianca yang muram. "Lo punya masalah? Sama Krisna?"

"Gak ada yang serius, cuma mergokin dia ngerokok." Suara bianca berubah lirih sedih, Safir tahu ada kekecewaan di sana.

"Lo kayaknya benci banget sama rokok." Safir ingin tahu alasan di balik Bianca yang selalu menyerukan kontra pada rokok. Tapi melihat waah Bianca yang lebih murung, Safir jadi merutuki mulutnya yang seenak hati bertanya. Kenapa gak bisa auto-rem sih? kesal Safir dalam hati.

Tangan pemuda itu beralih menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Gak dijawab juga gak apa-apa."

Safir pikir, Bianca akan benar-benar tidak menjawab pertanyaannya, gadis itu diam dan justru melepas sepatu juga kaos kakinya.

"Ayah meninggal karena rokok," jawab Bianca lirih. Padangan gadis itu lurus ke bawah, memandangi gelombang air yang muncul karena pergerakan kakinya di bawah sana. Safir ikut terdiam. Melayang dalam kata meninggal karena rokok.

Ranting berderik di atas sana, membuat Safir segera tersadar dan mendekati Bianca.

"Sorry, gue--"

"Ayah itu perokok aktif, dari gue kecil sampai gue umur lima belas tahun. Setahun yang lalu, ayah mulai berhenti ngerokok, tapi kata dokter ayah udah parah, TBC gak bisa disembuhin."

Elegi Rasa : PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang