Bianca itu bukan gadis cantik yang rajin, ia hanya satu dari sekian kaum rebahan yang suka menggulirkan beranda instagram demi melihat pemuda tampan nan menyenangkan. Istilahnya cuci mata. Sudah bosan matanya melihat tugas setiap hari. Apalagi tulisan tangannya yang mirip cakar ayam, naik turun seperti gunung dan ukuran bervariasi, jelek kuadrat kalau kata mamanya.
Kata Krisna-kakaknya-Bianca itu tidak lulus menulis saat TK dan SD. Guru pengajarnya saja kadang menyerah untuk membaca tulisan Bianca, lebih sering menyuruh gadis itu mengoreksinya sendiri. Hal itu juga yang menjadikan posisi Bianca aman saat ulangan matematika. Siapa juga yang mau melirik tulisan Bianca yang tidak terbaca. Bukannya penyelesaian yang didapat, justru penyesalan yang datang.
Seperti saat ini, kelas sedang pelajaran bahasa Indonesia. Gurunya Pak Zainal, lebih akrab dipanggil Papi Zain. Supaya terkenal kata mereka kalau Papi Zain bertanya. Juga karena bayangan Zain Malik yang teramat tampan lewat di benak saat nama Papi Zain disebut.
Bianca masih berdiri kaku di depan kelas. Urat malunya yang kadang terjepit-membuanya tak tahu malu-sedang berada di tempat yang benar. Membuat kegugupan datang menyergap hingga produksi keringat meningkat. Jadilah ia hanya termenung sambil menggigit bibir. Tidak membaca takut kena sembur Papi Zain, kalau dibaca lebih takut komentar pedas-singkat Papi Zain. Bianca bimbang.
Adam-sahabat Bianca-di bangkunya hampir tertawa, kadang bergumam tanpa suara sambil cekikikan. Intinya sedang meledek Bianca yang gemetaran di depan.
"Sok malu-malu kayak kucing, padahal aslinya malu-maluin kayak tai kucing."
Kalimat itu yang dapat dibaca Bianca dari gerakan bibir Adam yang bertempo sedang. Kurang ajar, kalau saja ia tidak sedang di depan diperhatikan Papi Zain dan murid sekelas, sudah pasti sepatu vantofel dengan hak setinggi satu sentimeter ini melayang ke mulut pemuda itu.
"Mau sampai kapan kamu diam di sana Bianca?" Papi Zain bertanya sambil mencoret sesuatu di kertas daftar hadir, menilai. "Saya punya banyak antrian murid lain yang akan maju," lanjut Papi Zain kembali menulis. Nomor absen Bianca yang berada di angka dua membuat gadis itu menjadi percobaan yang apik bagi Papi Zain.
Siswa sekelas menggeleng serentak, diam-diam berdoa dalam hati agar Bianca tetap berdiri di sana hingga bel istirahat berbunyi. Namun mustahil, pelajaran bahkan baru saka dimulai duapuluh menit yang lalu, setidaknya ada seratus duapuluh menit tersisa hingga bel kemenangan berkumandang.
"Pa-pada suatu hari, hiduplah-"
"Kerjakan essay tentang perkembangan ekonomi di Indonesia pada zaman kepemimpinan Pak Soeharto," kata Papi Zain memberi tugas tambahan. Guru itu memang terkenal santai tapi tegas. Sekali tidak lulus dalam setiap praktek dan ulangan, jangan harap ada kesempatan dua untuk mengulang. Hanya akan ada tugas tambahan yang materinya melenceng jauh dari pembahasan.
Dan kali ini Bianca yang mendapatkannya hanya bisa tersenyum kecut. Tangannya segera menurunkan kertas berisi cerpen yang ia tulis semalam. Benar-benar tipe siswa yang suka mengerjakan saat dekat hari jadi, sistem kerja semalam.
***
"Papi Zain ini guru Bahasa Indonesia apa guru Ekonomi sih?" curhat Bianca pada Adam yang saat ini sedang menunggu pesanan mie ayamnya datang. "Kasih tugas yang punya hubungan gitu kek sama cerita pendek, ini malah bahas perkembangan ekonomi. Enggak sekalian nyuruh gue bawa buku kimia, belajar ke guru prakarya, bahas materi deferesial, sambil lari di lapangan teriak gue anak IPS!"
Adam terkekeh. "Yang sabar ya sahabat. sepuluh lembar essay tulis tangan. Awas keriting entar tangannya."
Bianca mencebik kesal. "Lo gak ada niatan ngehibur gue gitu? Kasih semangat kek, atau lo ngajuin diri secara sukarela buat nulisin essay gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Rasa : Pergi
Teen FictionKadang menjadi begitu terlambat menyadari sesuatu akan membekaskan rasa sakit yang tak lekang oleh waktu. Saat cerita yang kelewat singkat dilalui menghantarkan pada sakit yang menghantui. Safir sudah merasakannya. Dua kali dalam hidup ia seperti di...