BAB 24

1 0 0
                                    

Layaknya rembulan, Safir bahkan tidak bisa mengalihkan pandangannya sedikit saja dari sosok Bianca yang mengumbar cerita kemarin sore. Gadis itu yang bercerita dengan nada rendah lalu tinggi hingga menggebu, ekspresi wajah yang terus berubah sesuai cerita, juga pada tangan yang tak lelah menggambar di udara. Masih sepagi ini dan Safir telah membudak cinta kepada Bianca.

"Terus apa masalahnya? Krisna udah gede kali, Bi. Wajar kalau punya pacar," tanggap Safir sambil menarik tangan Bianca untuk berbelok. Ini yang tidak Safir sukai dari Bianca, ketika gadis itu terlalu fokus pada satu hal, maka keadaan sekitarnya seperti menghilang. Mungkin saja, jika ia tidak menarik tangan Bianca, gadis itu sudah jatuh tercebur ke dalam kolam ikan setinggi satu setengah meter di depan sana. Tapi bagian baiknya, kecil sekali celah bagi Bianca untuk melirik pemuda lain. Jadi posisinya sebagai bagian penting cinta Bianca akan bertahan sangat lama.

"Hehe, makasih," ucap Bianca seraya tersenyum kecil. Sedetik kemudian, wajahnya berubah lagi, menjadi lebih serius. "Tadi aku cerita sampai mana? Ah, iya, emang wajar sih buat orang dewasa. Tapi buang Krisna? Ini gak wajar! Rasanya itu ... kayak ... kayak ... boom! Aku kaget sampai ke tulang!" pekik Bianca menggambarkan keterkejutan. Tangannya yang tadi digenggam Safir berubah menggambar lingkaran besar dengan ekspresi wajah terkejut yang lucu.

"Liat dia deketin cewek aja udah aneh--ya walaupun aku ikut andil dalam acara PDKT-nya. Tapi denger kak Krisna bilang kita baru pacaran dua jam lalu langsung bikin aku syok. Dia kan manusia setengah batu."

"Atau setengah es?" timpal Safir kemudian.

"Kupikir dia gak bakal ada rasa serius," ujar Bianca lesu.

"Kamu gak suka Krisna dapet pacar? Cemburu? Kan kamu udah punya aku." Safir kembali mendorong Bianca agara berjalan di depan saat sampai undakan tangga.

"Bukan gitu, tapi--" Bianca tak kuasa melanjutkan kalimat. Bahkan Krisna batu berpacaran, belum sampai menikah dan punya anak tapi dirinya sudah beraksi berlebihan.

"Takut kalau kamu bukan prioritasnya Krisna lagi?" Safir menarik pelan tangan Bianca agar gadis itu berhenti dan balik menatapnya. "Bi, kalian itu punya tempat berbeda dihati Krisna. Mau sampai kapan pun kamu tetap adik yang paling Krisna sayangi. Kayak aku, kamu sama bunda igu sama-sama prioritasku. Tapi tempat kalian beda, punya porsi sendiri."

Bianca menunduk, kakinya dieratkan begitupun tangan yang meremas satu sama lain. "Aku kekanakkan ya?" tanyanya ragu.

Safir menggeleng sambil mengangkat wajah Bianca agar mau menatapnya. "Wajar kalau kamu ngerasa takut tersaingi, Bi. Semua orang juga pasti pernah ngerasain apa yabg kamu rasain sekarang. Dulu, waktu tanteku mau nikah aja aku nangis kejer. Gak rela kalau seumpama dia gak merhatiin aku lagi. Tapi ternyata gak berubah sebanyak yang aku kira, dan aku paham, tanteku sekarang punya tanggung jawab sebagai istri dan ibu, wajar kalau perhatiannya ke aku berkurang."

Bianca mengangguk lantas memegang tangan Safir yang masih di pipinya. Melepaskan tangan besar itu sambil tersenyum lembut, "Ma--" Ucapan Bianca tak sampai selesai, tubuh mungilnya tiba-tiba terdorong ke depan dan hampir jatuh terjerembab serta berguling di tangga jika Safir tak segera menarik dirinya ke dalam pelukan.

"Untung masih ketangkep." Pemuda itu kemudian membenamkan tubuh Bianca seluruhnya dalam pelukan, lalu di pojokan pada pembatas besi tangga. Sebisa mungkin, Safir berusaha melindungi tubuh Bianca menggunakan punggung yang beberapa kali terkena tepukan kecil hingga besar sambil terus menjaga posisi mereka agar tidak mengikuti kerumunan.

"Gak apa-apa?" tanya Safir menatap sepasang mata nadu Bianca. Gadis itu masih syok, wajahnya masih terlihat linglung dan ketakutan. "Bi, gak apa-apa?"

Hampir satu menit menahan napas, akhirnya Bianca bisa menghembuskannya tergesa. Kepala gadis itu lantas menoleh dari atas tangga hingga pada kerumunan siswa laki-laki yang saling mengejar. Dan ketika meluruskan pandangan, Bianca menemukan sepasang netra yang memperhatikannya begitu khawatir. Menetralkan napas, Bianca akhirnya berujar, "Gak apa-apa. Cuma kaget aja kok."

Elegi Rasa : PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang