BAB 29

0 0 0
                                    

Rasa gelisah yang bersarang di hati membuat Safir terus-terusan bergerak resah. Berkali-kali, pemuda itu mengunjungi dapur guna mengambil segelas air putih yang habis dalam sekali teguk.

Bunda, wanita itu juga mulai lelah memperhatikan ekspresi wajah Safir yang tidak enak dipandang. Embusan napas yang keluar pun terasa berat menyiksa.

"Kamu kenapa, Safir? Kayak gelisah gitu." Bunda mengambil tempat duduk di depan Safir yang bersandar pada pantry.

"Eh." Safir mendongak, menemukan tatapan khawatir bunda. Lalu kepala menggeleng untuk menjawab. "Gak apa-apa, Bun. Cuma ngerasa gak enak aja, kayak ada yang ganjel." Lalu menghela napas bingung sambil menatap keluar jendela. Di luar hujan turun deras sekali. Angin yang masuk melalui kisi jendela seakan mencubit kulit dengan sisi dinginnya.
Apa Bianca sudah sampai rumah? tanya Safir dalam hati.

"Binca?" tanya Bunda memastikan.

Safir mengangguk. Pikirannya sempurna melayang pada sosok Bianca. Entah, hampir satu jam setengah lamanya, tapi gadis itu tak kunjung menghubungi. Setidaknya, Safir akan lega ketika Bianca bilang, aku udah sampai rumah.

Memperhatikan ponsel di sebelahnya, Safir berharap benda itu segera mengeluarkan bunyi dan tentu saja nama Bianca yang tertera di sana. Namun seakan mendengar suara hati Safir, eberapa saat, benda itu memang berbunyi, tapi nama Krisna yang muncul.

Belum sempat mengucapkan sapaan, Safir dibuat bingung dengan nada sedih dan pasrah Krisna yang memintanya datang.

Bunda, yang sejak tadi beranjak, bertanya tanpa suara. "Siapa?"

Safir menggeleng dulu, meletakkan telunjuk di depan bibir agar benda diam tidak menginterupsi. "Tumben--"

"Bianca butuh lo."

Tiga kata yang sukse membuat jantung Safir berpacu tak normal. Lantas, saat telepon ditutup dan dua pesan singkat dari Krisna diterima. Safir seperti kehilangan dunianya. Kaki-kakinya yang kokoh seperti berubah menjadi jeli, bahkan jika hanya untuk menopang tubuh, Safir jatuh kehilangan pegangan.

Panik melihat Safir tiba-tiba ambruk, Bunda datang menghampiri. Wanita itu jelas tampak khawatir melihat putranya yang tiba-tiba menjadi murung, pandangan pemuda itu kosong.

"Kamu ke--" Kalimat bunda menggantung di udara kala matanya tak sengaja melihat isi pesan dari Krisna.

Krisna
Send a location
Bianca sekarat

Wanita itu juga akhirnya jatuh terduduk memeluk Safir. Apa yang terjadi? Bahkan mereka baru saja makan malam dengan suasana yang indah, dengan gelak tawa, juga kebahagiaan yang memenuhi setiap sudut rumah.

"Bun, Bianca--" Safir menangis. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Mengalir deras kala denyutan sakit dihati membuat otaknya hampir kehilangan akal.

Perasaan itu, Safir sadar, rasa khawatir berlebih, rasa untuk selalu memeluk Bianca dekat, rasa untuk selalu mengenang Bianca lekat. Safir tahu ada yang tak beres. Harusnya ... harusnya tadi ia betulan mengikuti, betulan menyusul, memaksa lebih keras.

"Ayo aku anter pulang, Bi."

Harusnya ketika Bianca menolak lebih banyak, Safir ... menawarkan sangat banyak. Harusnya, ... bahkan sebuah kata perandaian sudah tak berguna lagi.

"Bianca," lirih Safir di sela-sela tangis tanpa suaranya.

***

1 jam 30 menit sebelum kejadian ...

Merasakan getaran pada ponselnya, Bianca melihat benda persegi itu menyala putih dengan opsi panggilan di sana, Krisna lagi-lagi menelepon.

"Di mana?" Krisna, tanpa menyapa halo atau lainnya segera mengutarakan maksud.

Elegi Rasa : PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang