BAB 6

2 1 0
                                    

"Kecemplung got mana lo?"

Bianca harusnya tahu, pulang dalam keadaan mengenaskan seperti ini bukan malah mengundang rasa iba dari Krisna. Pemuda itu justru akan semakin menyudutkannya, dalam artian mengejek hingga Bianca merasa jengah. Ingin meloakkan si kakak atau sekedar mencoret nama Krisna dari kartu keluarga.

"Heh, masuk lewat belakang!"

Krisna berseru yang membuat Bianca menoleh terkejut karena tubuhnya terhuyung ke belakang. "Apa? Biasanya juga lewat depan."

"Gak bisa! Lantainya habis gue pel, lewat belakang!"

"Gak mau!" Bianca menyentak. Lantas cepat berlari maauk ke rumah. Sampai di ambang pintu, gadis itu menyempatkan menoleh untuk sekedar meledek balik. "Kalau kotor lo pel lagi! Susah amat jadi manusia!" Lalu cepat-cepat masuk karena Krisna sudah berancang-ancang mengejarnya.

"Bi! Turun gak lo! Pel buruan!" Krisna menggedor kamar Bianca keras. Tapi bahkan setelah hampir lima menit, tak ada sahutan sama sekali. Bianca mengabaikannya.

***

Semenyebalkan apapun Bianca, gadis itu tetap adik kecil yang manis-manis menjengkeklkan. Bagi Krisna, ia tidak akan bisa melihat Bianca terkulai lemas dengan suhu badan nyaris menyentuh angka tigapuluh delapan derajat celcius.

"Lo habis ngapain sih, Bi?" Krisna menyuapkan kembali bubur ayam pada Bianca. Meski belum sedetik, gadis itu menggelen menolak. Katanya pahit di mulut. Seperti makan berlaukkan jamu. Tapi setelah menjelaskan-yang bahkan Bianca tahu faktanya -bahwa yang pahit bukan buburnya, tapi lidah Bianca sendiri.

"Gak ngapa-ngapain," jawab Bianca tak acuh. Sebenarnya Bianca tidak mau berbohong pada Krisna, ia hanya tidak ingin mengingat kejadian tadi. Selain jantungnya yang berdegup aneh dan rona merah muda di pipi, Bianca juga malu. Bagaimana jika Krisna mengira dirinya macam-macam karena berada di toilet perempuan bersama Safir. Akan lebih tidak elit lagi jika pemuda itu kembali menertawakannya karena diguyur seember air.

"Jawab yang bener." Krisna menunutut. Keadaan Bianca memang tidak bisa disebut parah, tapi juga tidak bisa disebut baik-baik saja. Melihat hidung kecil adiknya ya yang memerah mampet, napas sedikit tak teratur, badan panas dan mengģigil pada kamar sudah hangat, Krisna jadi sangsi kalau adiknya ini perlu dibawa ke rumah sakit. Hanya periksa, tidak sampai dirawat karena Krisna tahu bagaimana gadis itu begitu membenci rumah sakit.

"Jatuh di toilet, terus kesiram air."

Sebelah alis Krisna terangkat. Tidak percaya, tentu saja, jawaban Bianca itu konyol sekali. Memang Bianca jatuh seperti apa hingga tersiram air. Jika memang bukan sengaja disiram.

Mengembuskan napas pasrah, karena percuma juga membujuk Bianca mengatakan yang sebenarnya, gadis itu akan tetep tutup mulut. Jadi, Krisna memilih tak ambil pusing, toh bisa dicari tahu sendiri nanti. Jadi, pemuda itu mengambil sendokan besar bubur dan mengarahkannya pada Bianca. "Sekali suapan terus selesai."

"Gak mau." Bianca menggeleng tegas. Lidahnya pahit bukan main, makan bubur saja rasanya seperti mengunyah antimo empat butir. Getirnya sampai ke tulang. Hampir-hampir memutahkan kembali kalau tidak sedia madu di pinggi meja.

"Bian," panggil Krisna dengan suara rendah memerintah. Pemuda itu tidak suka kalimatnya dibantah, oleh adiknya sekalipun. Maka dengan keterpaksaan yang teramat, Bianca menyibak selimut lalu mendudukkan diri. Pusing tiba-tiba mendera, membuat Bianca keliyengan dan menjatuhkan kepala di headboard. Meringis sakit, Bianca mengerang pelan.

"Kak, pusing."

Krinsa meletakkan bubur yang sedari tadi dipengangnya di atas meja. Dengan telaten, Krisna memijat kepala Bianca, mengurutnya dan di putar-putar supaya rasa sakit itu mereda. "Minum obat ya."

Elegi Rasa : PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang