BAB 25

0 0 0
                                    

Pandangan bingung itu jelas tergambar pada bola mata Safir. Menemukan Bianca keluar kelas sambil bergandengan tangan dengan Adam membuat dahinya berkerut dalam. Catat sekali lagi, Bianca dan Adam bergandengan tangan tepat di depan matanya! Sebagai seorang kekasih dari Bianca, Safir tidak mungkin tidak merasa panas pada ujung hatinya.

Jika dulu, dirinya tak punya hak untuk sekedar menegur. Memang apa statusnya, hanya kakak kelas yang kebetulan bersahabat dengan kakak kandung gadis itu. Tapi sekarang, keduanya terikat pada status 'saling memiliki' yang disebut 'pacaran', Safir jelas ingin menuntut penjelasan.

"Gue bisa jelasin." Bianca menarik diri ke arah Safir. Genggaman tangannya dengan Adam sudah terpisah beberapa menit lalu. Menyisakan tangan Adam yang menggantung karena tak terima tautannya terlepas. Dan tangan Bianca yang berusaha menggapai tangan Safir.

"Aku harap penjelasan kamu bisa bikin aku percaya dan gak mikir aneh-nahe." Safir menolak tangannya disentuh. Pemuda itu mengambil posisi bersedekap dengan wajah mendongak congkak. Matanya tajam lurus menatap Adam yang tak bergming, sementara telinganya awas mendengarkan kalimat yang akan Bianca lontarkan.

Bianca menarik nafas dalam. "Aku udah mau bilang sama kamu tadi pagi, kita gak bisa bareng lagi."

"Maksud kamu?!" Sadar tidak sadar, suara Safir mendadak naik satu oktaf. Sekarang pemuda itu menatap Bianca penuh pertanyaan, hubungannya bahkan baru seumur jagung, apanya yang tidak bisa bersama lagi?

"Kamu dengerin aku dulu dong! Aku, kan, belum selesai ngomong!" Bianca ikut menyentak, emosinya juga tersulut kendati yang membentak adalah satu orang tersayangnya. "Aku ada tugas praktikum biologi dan aku satu kelompok sama Adam. Bah, sekarang ini aku sama Adam mau cari katak buat praktikum sekalian sama alat-alatnya ke toko kesehatan," jelasnya kemudian. "Jadi kayaknya beberapa hari ini kita gak bisa pulang bareng."

Safir bisa melihat bagaimana raut menang yang terlukis menyebalkan di wajah kelam Adam. Lalu menunduk pada Bianca dengan tangan bertengger di bahu gadis itu. "Kenapa gak nyari alat sama bahannya sama aku?"

"Ini tugas kelompok, Kak. Jadi yang bertanggungjawab ya saya sama Bianca." Adam berkata sopan, menarik Bianca mendekat ke arahnya.

"Saya pacarnya kalau kamu belum tahu." Lalu Safir balik menarik Bianca kembali ke arahnya.

"Saya sahabatnya dari kecil kalau Kak Safir merasa menang, saya jauh lebih lama kenal sama Bianca." Adam menarik Bianca, menjauhkan sahabat perempuannya dari Safir.

"Kenal aja bangga, status saya lebih tinggi dari kamu yang cuma sahabat."

Jadi, apakah dunia sedang mempermainkan Adam menggunakan ikatan sahabat? Dalam satu hari, ia sudah dua kali ditegaskan tentang status yang tak lebih dari sahabat. Dan kenyataannya, dirinya memang sudah lah kendati terus mempertahankan kata menang untuk menghibur diri.

"Duh, kok malah ribut sih?" Bianca menghentakkan kaki. Melepaskan cengkraman dua tangan berbeda pada bahunya yang sedikit terasa sakit. "Kalau kalian berantem mending aku cari bahannya sendiri! Dasar gak guna! Udah gede juga masih berantem, masalah sepele lagi!"

Safir menyerah, ia lantas berkata, "Prakteknya hari apa?"

"Kamis," jawab Bianca cuek.

"Berarti dua hari ini kamu pulang pergi sama Adam?"

Kepala Bianca mengangguk. "Iya, dua hari ini sama Adam."

Setelah menghela nafas pasrah, Safir akhirnya setuju. "Dua hari ini kamu boleh pulang pergi sama Adam." Lalu menatap Adam dengan tatapan yang sedikit lebih tajam. "Hati-hati kalau bawa Bianca. Sampai cewek gue lecet dikit aja, siap-siap kepala lo gue penggal," desisnya tajam.

Elegi Rasa : PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang