Dari sejuta peluang bertemu dengan orang yang sama, Bianca selalu mengutuk pertemuannya dengan Safir. Bekas cemgkeramamn tangan pemuda itu di lengannya masih membekas sedikit. Rasa gugupnya yang belum sempurna hilang. Hanya terbang sedikit, sisanya justru mengendap membuatnya melayang.
Kali ini, keduanya bertemu di angkringan pinggir jalan. Rumornya, ini angkringan paling enak. Menunya bermacam-macam, pelayanannya yang nyaman dan makanannya yang mengenyangkan. Jadi jangan heran jika penuh sesak tempatnya.
Saat ini, Bianca sedang mengantri mie ayam, Krisna belum pulang lagi. Dan seperti yang sudah diketahui, Bianca buruk sekali dalam hal masak-memasak. Dan daripada menghancurkan dapur sampai membakar rumah, Bianca demgan senang hati pergi keluar dengan uangnya sendiri--nanti akan minta ganti ke Krisna. Sedang Safir, sejak pemuda itu datang, Bianca hanya tahu Safir berdiri di depan tak beranjak, seperti memperhatikannya dalam diam. Dan Bianca ikut memperhatikan pemuda itu dalam diam.
"Mbak, pakai acar?"
Bianca mengerjap. Lantas mengangguk. "Mienya gak usah banyak-banyak, ayamnya aja. Pakai acar, minyaknya agak banyakan, garamnya juga. Tanpa saus atau kecap."
Si penjual mengangguk dan mulai melayani. Bianca beranjak duduk, diikuti Safir yang entah sejak kapan duduk di depannya.
"Sering ke sini?" Safir membuka obrolan. Beberapa kali bertemu dengan Bianca membuat dirinya mulai terbiasa. Tak ada lagi adu mulut tak berguna karena sebatang rokok. Atau hanya karena tersenggol hingga jatuh.
"Lumayan sih, biasanya kalau kak Krisna gak masak aja," jawab Bianca jujur. Lalu menoleh kepada si penjual yang sepertinya berkuat dengan pesanan lain. Bianca berteriak, "Pak! Pesanan saya jangan lupa!"
Si penjual membentuk tanda ok menggunakan jari.
Bianca mengembalikan atensi pada Safir. "Kalau lo?"
"Sering. Sama Krisna biasanya. Kalau gak ke sini ya ke angkringan satunya." Safir enteng sekali memberitahu. Sepertinya lupa akan fakta bahwa Bianca begitu membenci rokok dan Krisna justru melabeli dirinya dengan rokok.
"Angkringan satunya?" Suara Bianca sarat pertanyaan yang harus dijawab saat itu juga. Sedang respon Safir seperti tak ingin menjawab.
Safir berdehem pelan. "Udah masuk musim hujan?" tanyanya entah pada siapa saat rintik hujan turun sedikit.
Bianca mengangkat bahu tak acuh, mana dia tahu. Bulan musim kemarau dan musim hujan saja ia tidak hapal. Tahunya kalau banjir berarti musim hujan, kalau panas sampai kering ya berati kemarau.
Hening di antara keduanya. Suara sepeda motor dan kendaraan lain yang berlalu lalang turut hilang. Gerimis turun seketika, membuat beberapa diantara mereka meneduh di depan ruko. Atau justru masuk ke angkringan yang sudah penuh kursinya.
"Neng, pesanannya." Si penjual mengulurkan kresek hitam yang panas.
Bianca hati-hati menerimanya. "Makasih, Pak." Setelah itu hendak pergi. Namun, Safir dengan cepat mencekal pergelangan tangan Bianca.
"Gerimis, Bi," katanya seperti memperingati. Nanti lo sakit kalau kehujanan.
Satu alis Bianca terangkat, lalu memandang tangannya yang dicekal Safir. Perasaan aneh itu mulai memunculkan eksistensinya lagi. Bianca tak begitu mengerti. Rasanya membuncah senang, kembang api merah muda bersahutan di dada.
"Gue tau," ucap gadis itu singkat, menutupi kegugupan yang bertandang tiba-tiba. "Mumpung masih gerimis makanya gue pulang, kalau udah deres malah susah nunggu redanya."
Saat itu, tanpa kata Safir membawa Bianca duduk kembali. Dan seolah tersihir akan hangatnya genggaman tangan Safir, tubuh Bianca pasrah saja saat ditarik.

KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Rasa : Pergi
Fiksi RemajaKadang menjadi begitu terlambat menyadari sesuatu akan membekaskan rasa sakit yang tak lekang oleh waktu. Saat cerita yang kelewat singkat dilalui menghantarkan pada sakit yang menghantui. Safir sudah merasakannya. Dua kali dalam hidup ia seperti di...