Jam pelajaran keempat baru saja ditutup, bel istirahat pun belum berbunyi. Hanya ada sorak sorai dan rencana membeli apa di kantin. Sisanya berisi teriakan menitip makanan karena rasa malas yang menyerang tiba-tiba.
Di mejanya, Bianca masih asyik berkutat dengan buku-buku pelajaran. Satu persatu buku tulis ia tumpuk lalu dimasukan ke dalam laci bersama tempat pensil yang berbandul gembok—bolpoin dan tipe x bisa raib kapan saja jika ditinggal tanpa pengamanan. Sedangkan buku tulis sudah seluruhnya masuk ke dalam laci dan buku paket ia tumpuk di sudut kiri meja dari yang terbesar ke yang terkecil.
"Kantin gak, Bi?"
Bianca mendongak saat tubuh jakung Adam sudah berdiri di samping mejanya. Gadis itu lantas tersenyum lebar dan mengangguk semangat. "Ah, lo mau traktir gue kan? Yah, aslinya gak mau nolak, jadi gue terima deh."
Adam dibuat tercengang sesaat. Firasatnya benar, mengajak Bianca ke kantin duluan hanya akan membuat isi dompetnya terkikis dua kali lebih cepat. Dan bodohnya, ini bukqn kali pertama. Adam saja sudah lupa ini yang keberapa saking seringnya.
"Mana ada, lo beli sendirilah!" tpolak Adam yang justru menghasilkan senyum jahil Bianca. Tanpa aba-aba, gadis itu segera banhkit dan menggandeng tangan Adam sambil berlari. Sedetik kemudian, Adam benar-benar menyesal. Bianca selalu berniat sepenuh hati kalau masalah menghabiskan isi dompet.
"Hah? Lo mau traktir gue sepuasnya? Maacih Adam!"
Dan Adam hanya bisa mendengar sambil mencibir dalam setiap langkahnya. Bianca memang perlu dibawa ke dokter THT setelah pulang sekolah nanti. Telinga gadis itu semakin bermasalah setiap harinya.
***
Seperti yang diharapkan, suasana kantin sedang bersahabat untuk perut kelaparan Bianca dan Adam. Kantin sedang sepi karena hampir tiga kelas tidak ada dalam kerumunan masa yang kelaparan itu, sedang olahraga di lapangan. Sementara sebagian lain seperti diserang rasa malas berlebihan jika harus berdesakan demi mendapat jatah makan siang. Biar saja, pikir mereka begitu, sekarang baru pukul sepuluh, jam makan siang masih nanti jam dua belas.
"Mie ayam? Pecel? Apa—"
"Nasi goreng!" tandas Bianca cepat sebelum Adam sempat menyelesaikan kalimatnya. "Sama jus mangga ya."
Lagi-lagi Adam mendengus, "Gak sekalian jajanannya?" sindir pemuda itu pada Bianca yang sudah tenggelam dalam ponselnya.
"Boleh tuh, yang asin-asin ya," balas Bianca tanpa mendongak.
Kini Adam benar-benar menyesal. Menawari Bianca memang bukan hal yang direkomendasikan. Niat awal memang menyindir, tapi tanggapan yang diberikan Bianca justru membuatnya mencibir.
"Pengen nikah lo makan yang asin-asin?"
Bianca lantas mendongak sambil tersenyum lebar. Satu anggukan diberikan dan Adam tak bisa menahan dahinya yang tiba-tiba mengerut bertanya. "Gue tungguin lamaran lo di rumah deh."
"Heh?!" Adam kaget, tentu saja. Bianca memang suka bercanda, tapi untuk hal seperti ini, gadis itu tak pernah menyinggungnya. Sepersekian detik, Adam seperti merasakan desiran aneh dalam hatinya. Bianca masih tersenyum lebar dan Adam semakin jatuh dibuatnya.
"Serius amat, gue bercanda kali. Ya masa gue nikah sama lo, G-Dragon mau gue kemanain?"
Seketika, mungkin, Adam merasa dunianya sedikit berantakan. Sudut hatinya yang berantakan. Bianca mengatakan hal yang mengejutkan lalu tanpa sadar mengahancurkannya dalam sekali tepuk. Adam menundukkan kepala, begumam lirih sambil berbalik untuk memesan makanan.
"Padahal gue anggepnya serius."
Tak lama, mungkin hanya beberapa menit menunggu, Adam sudah kembali ke meja dengan nampan berisi satu piring nasi goreng, satu gelas jus mangga ekstra susu, satu botol air mineral dan beberapa bungkus makanan ringan. Sebenarnya Bianca bisa saja tidak peduli, tapi rasa kepeduliaannya jelas akan muncul ketika melihat Adam tak membawa makanan apapun bagi dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Rasa : Pergi
Teen FictionKadang menjadi begitu terlambat menyadari sesuatu akan membekaskan rasa sakit yang tak lekang oleh waktu. Saat cerita yang kelewat singkat dilalui menghantarkan pada sakit yang menghantui. Safir sudah merasakannya. Dua kali dalam hidup ia seperti di...