Mendapati Bianca masuk menggunakan jaket warna merah membuat beberapa penghuninya mengalihkan atensi sebentar. Seperti bertanya,
"Yang modelan Bianca bisa sakit juga ternyata."
Sisanya hanya untuk sekedar melihat sebelum melanjutkan aktivitas. Sementara di belakang, Adam sudah beda lagi. Lari tunggang langgang secepat kilat dengan gurat khawatir yang kentara sekali.
"Lo kenapa? Sakit? Patah tulang? Otak lo geser? Eh, panas. Anget sih sebenernya. Lo beneran sakit? Sakit jiwa? Apa sakit hati? Tubuh kali."
Dan serentetan pertanyaan tak berumutu itu mengudara dari mulut Adam yang tidak punya rem. Bianca jelas mendengus malas. Baru setengah jalan ke bangku miliknya, ia sudah dihadapkan dengan Adam yang menguras emosi. Bukannya dibantu berjalan atau sekedar menawari bubur ayam mbak Lilis, Adam justru menanyainya yang tidak-tidak.
"Bacot! Minggir lo."
Bianca menggeser tubuhnya sendiri--mengeser tubuh Adam bukan perkerjaan yang mudah bagi Bianca--lalu pergi tanpa mau memperpanjanga masalah. Iya, ditanyai Adam saja sudah menjadi masalah, apalagi kalau menanggapi. Semakin panjang dan semakin melantur yang ada.
"Masih marah sama gue?" Adam duduk di depan Bianca yang merebahkan kepala. Sepertinya gadis itu merasa pusing atau mungkin usaha menghindari. Adam tak tahu pasti, tapi yang jelas ia harus meluruskan masalah kemarin. Sungguh, ia hanya bercanda--meski setengahnya memang ungkapan langsung berujung penolakan dari sang pujaan hati.
"Bi--"
"Lo pikir aja sendiri!" Bianca geram. Menyentak cepat sambil melotot tajam. "Gue udah kayak orang jantungan dan lo ngakak gak jelas kayak orang kesurupan gitu! Gak semuanya bisa lo bercandain!" tandasnya mengembalikan ucapan Adam kemarin. Jari telunjuk dan ibu jari gadis itu mengurut pangkal hidungnya. Seolah kalimat panjang tadi menjadi pengundang pusing. "Tau ah, pergi lo. Emosi mulu gue liat penampakan lo."
Adam mendesah resah. Bahunya merosot sedih, lebih pada kecewa pada diri sendiri. "Maafin gue, Bi. Sumpah gue gak maksud apa-apa," katanya lagi sebelum pergi. Presensi terakhir Papi Zain minggu ini sudah ada di depan pintu. Dengan tongkat panjang yang entah digunakan untuk apa. Mau tak mau Adam haru kembali ke bangkunya atau siap dilempar papi Zain.
***
"Yang namanya, Bianca mana, Dek?"
Samar-samar Bianca mendengar namanya dipanggil. Mungkin laki-laki. Entahlah, ia tidak bisa memastikan, telinganya berdengung sekarang, apalagi sebelah kirinya disumpal earphone dengan volume keras. Pengalihan atas rasa pusing yang mendera.
Sebenarnya Bianca menyesal memaksa masuk dan mengabaikan peringatan kakaknya. Sekarang semua benar terjadi, ia lemas dan pusing. Badannya entah kenapa menggigil lagi. Juga hidungnya yang tersumbat dengan suara tarikam menjijikan.
"Ah, itu, Kak. Di belakang itu yang lagi tidur. Jaket merah."
Si laki-laki tadi mengangguk, lalu meminta izin pada penghuni kelas untuk masuk dan menemui Bianca.
Kepala Bianca baru merubah posisi saat sesuatu yang hangat menyentuh lengannya yang digunakan sebagai bantal. Juga banyangan si laki-laki dan derit mejanya yang baru saja digeser.
"Makan. Obatnya di dalem."
Bianca terdiam beberapa saat sebelum bangkit dengan kepala berdenyut. Efeknya kenapa separah ini? Padahal asusmsinya hanya sampai pilek saja. Mungkin juga pusing sedikit, setengah atau satu hari juga sembuh. Bukan demam berkepanjangan, sebenarnya baru satu hari setengah.
"Ngerasa bersalah?" Bianca menarik bubur ayam mbak Lilis itu mendekat sebelum membukanya. Jika keadaannya lebih baik Bianca akan bersorak senang karena bau bubur ayam yang menggugah selera. Tapi hidungnya yang sedang bermasalah, memaksa Bianca untuk diam menatap tanpa minat. Lidahnya tidak akan bisa merasa rasa makanan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Rasa : Pergi
Novela JuvenilKadang menjadi begitu terlambat menyadari sesuatu akan membekaskan rasa sakit yang tak lekang oleh waktu. Saat cerita yang kelewat singkat dilalui menghantarkan pada sakit yang menghantui. Safir sudah merasakannya. Dua kali dalam hidup ia seperti di...