Nila tak mendapatkan apa-apa dari acara mengikuti mobil papa, kecuali tahu dimana tempat tinggal Grey selama ini. Panti Asuhan.
Untuk sesaat, Nila merasa tolol sekali karena tidak permah tahu jika Grey tinggal di panti asuhan. Pantas saja pemuda itu menentang keras permintaan kabur dari makan malam yang diadakan papa. Grey tidak ingin mebuat Nila menjadi anak yang tidak berbakti.
Nila tak berani turun untuk hingga mobil papa melaju pergi. Gadis itu hanya memperhatikan Grey yang tampak senang dikerumuni beberapa anak kecil lucu menggemaskan. Lantas saat suara si pengemudi menginterupsi, Nila memilih turun.
"Mau ditunggu, Mbak?" tanya si pengemudi yang ditanggapi dengan gelengan kepala dan senyum kecil.
"Gak usah deh, Pak. Terima kasih." Lalu berlalu begitu saja. Nila berhenti saat tangannya menyentuh pintu pagar setinggi pinggang yang dicat putih. Gadis itu menghela napas sambil menatap awan yang berarak tenang. Dan ketika menurunkan pandangan, tatapannya kembali bertemu dengan mata indah Grey.
***
Setelah dipersilahkan masuk oleh ibu panti, Nila hanya bisa diam sambil mengikuti Grey yang berjalan di depan. Sebenarnya, ibu panti menyuruh Grey membawa Nilai ke ruang tamu, tapi pemuda itu menggeleng dan justru membawa Nila ke taman belakang yang sepi.
Grey duduk di rumput, menekuk kaki sambil menyangga tubuh menggunakan tangan. Sementara Nila di belakang berdiri merapatkan kaki, tangannya saling meremat bingung harus melakukan apa.
Suasana hening sekali.
"Lo mau ngomong apa?"
Kalimat pertama Grey setelah penolakan yang dilayangkan pemuda itu pagi tadi, Nila mendekat, hati-hati ikut duduk di samping Grey. "Papa ngomong apa ke kamu?"
Grey tersentak mendapatkan Nila tahu bahwa papa gadis itu habis menemuinya. Tapi setelah ingat bahwa Nila bisa sampai sini padahal ia tak pernah memberi tahu gadis itu, Grey jadi paham. Nila mengikuti dirinya tadi. "Gak ngomong apa-apa," elaknya tak ingin membuat Nila khawatir.
"Kamu setuju buat jauhin aku?" Nila memelas. Dipandangnya wajah Grey dari samping tampak begitu rupawan kendati lembam itu masih tertanam. "Katanya kamu mau perjuangin aku, masa udah nyerah sih?" Nila menarik napas dalam guna mentralkan sakit yang menerjang. Tangannya memukul bahu Grey berulang tanpa tenaga, kemudian menangis tanpa suara. Tak lama, tangisan itu mereda, lantas kembali mengudara saat wajah Grey terlihat basah, pemuda itu juga menangis.
"Aku gak mau masa depan kamu rusak cuma gara-gara aku yang gak sempurna." Grey menahan tangan Nila. Menggenggamnya erat hingga pada perasaan behitu hancur. "Dari sekian banyaknya alasan buat jauhin kamu, aku merasa gak begitu pantas buat, Nil."
"Terus menurut kamu aku sempurna?" Nila menahan tangisnya yang hendak meledak lagi. "Aku juga gak sempurna, Grey. Kita gak ada yang sempurna."
"Aku ini gak pantes buat kamu, Nil. Kamu cewek hebat, pintar, orang tua kamu dari keluarga terpandang. Sementara aku ..." Helaan napas Grey terasa berat. "Aku dibuang, mama meninggal dicekik ayahku sendiri. Terus ayah meninggal bunuh diri karena merasa bersalah udah ngebunuh mama. Keluargaku gak mau nampung aku karena ada darah pembunuh yang mengalir dalam diri aku, dan aku berakhir disini. Tempat orang-orang terbayang yang gak diharapkan." Grey menarik napas dalam, lalu dihembuskan sepelan yang ia mampu. "Aku gak pantes buat kamu. Sebanyak apapun aku berjuang, aku tetep kalah dari yang kamu, Nila. Aku kalah dari Safir."
"Tapi aku pilih kamu, aku cintanya sama kamu. Bukan sama Safi. Kamu gak bisa lihat itu?" Nila menutup wajahnya yang berderai air mata. Setelah ini mungkin wajahnya akan sembab bersama mata bengkak dan merah. Tapi ia tak peduli, sungguh, Grey adalah yang terpenting.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Rasa : Pergi
Teen FictionKadang menjadi begitu terlambat menyadari sesuatu akan membekaskan rasa sakit yang tak lekang oleh waktu. Saat cerita yang kelewat singkat dilalui menghantarkan pada sakit yang menghantui. Safir sudah merasakannya. Dua kali dalam hidup ia seperti di...