"Uhm, ini bukan arah rumah gue sebenernya, lo gak mungkin lupa, kan?" Bianca menginterupsi Safir yang sedang fokus pada jalanan. Pasalnya, Safir terus melaju lurus padahal rumahnya belok ke kanan di perempatan tadi.
"Keluar dulu mau gak? Anggap saja ..." Safir kebingungan memilih kata. Kalau dilanjutkan, ia dan Bianca belum memiliki hubungan apa-apa. Kalau dihentikan, pikiran Bianca bisa saja macam-macam dan tetap merujuk pada kata ...
"Kencan?" tebak Bianca saat Safir tak kunjung melanjutkan kalimatnya.
Dan helaan napas Safir terdengar samar, kemudian kepala pemuda itu mengangguk menanggapi. "Bisa dibilang kencan, tapi gue gak bisa bawa lo ke tempat makan yang mewah atau yang berkelas. Dompet gue gak mencukupi. Angkringan yang waktu itu aja, ya?"
Bianca mengangguk, itu sudah lebih dari cukup baginya.
***
Keduanya tiba di angkringan saat langit bersembjrat warna jingga, matahari hampir menyentuh batas cakrawala tapi masih setia mengudara. Safir diam-diam memperhatikan Bianca yang tampak tenang menunggu pesanan dengan menu sama seperti saat pertemuan pertama di di tempat ini, mie ayam dan teh hangat.
Matahari sudah hilang sepenuhnya di ufuk barat, gelap sedikit mengukung di antara banyaknya lampu jalanan yang bergemerlap. Awan mendung mulai bergumul di atas sana. Lalu tak lama, rintik hujan datang turun.
"Beneran musim hujan kayaknya," ujar Bianca tanpa semangat. Bukannya ia tidak bersyukur atas rahmat dari yang Mahakuasa, hanya saja tubuhnya sedikit sensitif pada air hujan. Memang tidak sampai demam atau batuk-pilek, tapi efek pusing saat tempiasnya mengenai tubuh membuat Bianca tak suka.
Fakta lainnya, Ayah pergi saat musim hujan. Kala itu, hujan turun deras sekali bersama petir. Turut berduka atas perginya Ayah.
"Mau kemana?" Bianca mengalihkan atensi kepada Safir yang beranjak dari tempat duduk.
Safir menoleh lalu menunjuk sepeda motornya yang terparkir di luar, "Ambil jaket buat lo," jawabnya enteng lalu pergi.
Dari sini, Bianca melihat Safir yang rela diguyur rintiknya hujan demi mengambil jaket di jok motor. Sederhana, tapi membuat hatinya kembali luluh. Parkiran di angkringan ini memang tidak memiliki peneduh, jadilah terpaksa motor kesayangan pemuda itu harus hujan-hujanan di luar.
Safir kembali membawa jaket besar yang tebal, dilihat saja sudah hangat, apalagi saat dipakai, pikir Bianca saat itu. Lalu tanpa kata, Safir segera menyampirkan jaketnya di pundak Bianca sambil dieratkan menggunakan pelukan.
"Hangat?"
"Gue gak bisa napas, Safir!" Bianca berteriak, meronta dibalik kukungan Safir yang bertambah erat. Hangat sebenarnya, tidak sampai mencekik seperti yang ia katakan. Bianca hanya terlalu malu, pengunjung di angkringan ini sudah banyak--hampir berdesakan untuk meneduh, dan sebagian besar memperhatikan dirinya lantaran dipeluk Safir.
Safir mengusap kepala Bianca setelah menutup kepala gadis itu mengenakan topi yang tersambung di jaket. "Jangan sampai kedinginan kalau sama gue. Lo harus tetap hangat biar gue gak ngerasa gagal jagain lo."
"Hilih, belajar ngegombal dimana lo?" Bianca pura-pura memasang ekspresi mual saat mendengar ucapan Safie yang keju sekali.
"Lah, gak percaya?"
"Ya enggak lah, lo ka--"
Safir pindah ke samping Bianca, memeluk gadis itu dari samping dan menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Bianca yang terbungkus jaket. "Lebih hangat kalau sama lo daripada Nila. Dia dingin."
"Safir ..." Bianca mendorong kepala Safir menjauh darinya, lalu menarik tubuhnya ke arah yang berlawanan. Wajahnya pasti meerah sekarang, seperti tomat, atau kepiting rebus?
Tapi sialnya, tenaga Safir tidak semudah itu untuk dikalahkan. Secara teori, perempuan akan selalu kalah jika disandingkan dengan laki-laki.
"Lo deg-degan ... sama kayak gue." Safir berujar lagi yang membuat Bianca semakin memerah. Apagi saat pemuda itu sengaja mendongak guna melihat ekspresi Bianca yang gugup sekali, mata keduanya bertatapan sedikit lebih lama.
"Gue kan hidup, makanya deg-degan." Bianca meniru jawaban Safir saat itu, memalingkan wajah ke arah kotak tiau di atas meja.
"Bukan karena suka sama gue?" Safir menginterupsi. "Masalahnya, sebagian detak jantung gue udah jadi milik lo. Sisanya penopang gue hidup dan sebagian lagi masih milik Nila."
"Saf--"
"Sorry, gue belum bisa ngilangin nama Nila sepenuhnya, tapi gue janji kalau sekarang lo yang jadi prioritas gue." Mata kelam Safir menatap lekat manik madu Bianca yang selalu membuatnya terperangkap jauh. Pesona Bianca bukan yang udah ditolak, gadis itu istimewa.
"Kok jadi mellow sih? Efek hujan kali ya?"
Safir mendengus, segera kembali ke tempat duduk dengan wajah tertekuk. "Ngancurin suasana aja lo. Gue udah sungguh-sungguh malah lo yang bercanda."
"Hehe, maafin." Bianca meraih tangan Safir untuk digenggam di atas meja. Matanya memancarkan rasa sayang dan cinta. "Gue juga suka sama lo, kalau lo mau perjuangin gue lebih keras lagi, mungkin jadi cinta."
Safir balik menggenggam tangan Bianca, mengusap lembut punggung tangan gadis itu menggunakan ibu jari. "Tungguin gue berjuang ya, setelah gue gak ada ikatan apa-apa lagi sama Nila, gue bakal fokus sama lo sepenuhnya."
Bianca mengangguk. Hendak membalas ucapan Safir, tapi suara lain datang bersama aroma yang menggugah selera menyelanya cepat.
"Ekhem, warung saya ini bukan tempat memadu kasih yang indah nan mengharukan. Kasian nanti pembeli saya pada muntah denger dialog murahan kalian." Si penjual datang dengan cekikikan khas orang yang sedang menggoda sepasang insan yang kasmaran. Lantas meletakkan dua mangkuk mie ayam dan dua gelas teh hangat di meja sambil berujar. "Mie ayam dan teh hangat yang dibuat dengan penuh cinta untuk dua orang yang sedang berbunga. Selamat menikmati."
Safir tekekeh geli melihat reaksi Bianca yang malu-malu menggemaskan saat tahu sedang digoda. "Gak usah malu gitu."
Bianca melotot. "Siapa yang malu? Orang biasa aja tuh."
"Dih, jaim."
Lantas keduanya hanyut dalam makanan masing-masing berteman rintik hujan yang tak kunjung mengering. Masih setia menangis seolah akan ada hal besar yang terjadi.
"Maafin gak bisa ajak kamu ke tempat makan yang mewah atau ke tempat yang makanannya mahal dan enak. Kencan pertama kita rasanya ancur banget, apalagi hujan, makin gak bisa kemana-mana jadinya."
"Ngapain sih minta maaf lagi. Angkringan Gini aja udah cukup. Gak perlu yang mewah kalau cuma mau nunjukin kamu sayang aku." Lalu tersenyum manis. "Aku nerima kamu dengan semua alasan sederhana yang aku punya, jadi gak usah khawatir."
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Rasa : Pergi
Novela JuvenilKadang menjadi begitu terlambat menyadari sesuatu akan membekaskan rasa sakit yang tak lekang oleh waktu. Saat cerita yang kelewat singkat dilalui menghantarkan pada sakit yang menghantui. Safir sudah merasakannya. Dua kali dalam hidup ia seperti di...