Pukul satu dini hari, Safir terbangun dengan perasaan yang luar biasa berantakan. Sekelebat bayangan mimpi dirinya bertengkar dengan Bianca adalah alasan. Ia tak mengerti kenapa mimpi seperti itu tiba-tiba datang. Rasanya, ia dan Bianca belum pernah terlibat percekcokan apapun selama menjalin hubungan. Jadi untuk sekarang, Safir anggap mimpi itu sebagai bunga tidur karena perasaannya yang gelisah.
Mencoba memejamkan mata kembali, Safir justru bangun dengan gerakan brutal dan hampir terjungkal ke samping. Pemuda itu semakin bingung, mengacak rambut pun bukan solusi, justru semakin membuat frustasi.
Kejadian kemarin kembali menyambang. Safir tidak tahu mengapa ia harus berbohong pada Bianca. Jawaban itu meluncur begitu saja kendati hatinya ingin jujur.
Aku lagi sama Nila, Bi.
Ingin sekali hatinya berbicara demikian, tapi ketika reaksi kecewa Bianca terlintas di benak, Safir urung. Pemuda itu memilih melanjutkan sandiwara yang baru dimulainya.
Sore kemarin, setelah melepas Bianca pergi bersama Adam, Safir memilih berdiam diri di depan kelas gadis itu. Tak ada yang ia lakukan, benar-benar diam mengamati cakrawala yang merona jingga. Hanya pikirannya yang melayang entah kemana.
Safir masih tak begitu peduli pada sekitarnya yang mulai sepi, bel pulang sudah berbunyi sejak tiga puluh menit lalu. Hingga saat itu, ia merasakan bangku sebelahnya terisi, Safir kontan menoleh dan menemukan Nila duduk menghadapnya dengan senyum kecil manis.
"Hai," sapanya kecil.
Safir tertegun beberapa saat, untuk beberapa alasan, Safir seperti kembali merindu pada Nila. Namun lagi, kelebatan tawa Bianca menyadarkan, Nila bukan lagi satu-satunya, ada Bianca yang lebih utama.
Tanpa berkata apa pun, Safir beranjak pergi. Akan menjadi masalah jika ia terlalu lama bersama Nila. Meski hati sudah menetap pada Bianca, logika otaknya berkata cinta pertama itu terlalu istimewa untuk dilupakan.
"Safir." Nila menghadang jalan. Tatapan memohon itu terlukis indah di netra Nila yang berkaca di timp mentari. "Mobil gue rusak, sopir gue gak bisa jemput dan gue tau boncengan sepeda motor lo lagi kosong. Jadi ..." Gadis itu menggantung kalimat, berharap Safir akan menawarkan tumpangan.
Nyatanya, Safir justru diam sambil menggulirkan layar ponsel. Pemuda itu seolah hanya menganggap Nila sebagai angin lalu, tak perlu dipedulikan. "Gue pesenin ojek, lima belas menit lagi nyampe. Dan--" Safir mendekatkan bibir pada telinga Nila dan berbisik, "--jangan harap gue mau bonceng lo lagi." Kemudian pergi dengan Nila yang masih mematung di tempat.
"Gue gak mau naik ojek!" Nila menarik Safir balik. Kepala gadis itu mendongak dengan mata membulat tajam. "Gue maunya dianter sama lo," katanya sambil meremat pergelangan tangan Safir pelan.
"Muka gue keliatan peduli?" Safir melepaskan cengkraman Nila pada pergelangan tangannya. "Mau lo jalan atau ngesot juga gue gak bakal peduli lagi."
Nila menggeram marah. Perubahan Safir yang terlalu mendadak membuatnya sedikit banyak merasa tak rela. Bahkan ketika kakinya tanpa sadar mengikuti langkah lebar Safir hingga parkiran, Nila tetap bertahan pada pendiriannya yang pertama. Pulang bersama Safir.
"Turun," desis Safir tak suka saat Nila dengan lancangnya langsung naik ke boncengan. Bagi pemuda itu sekarang, tempat yang di duduki Nila hanya milik Bianca. Meski si pemilik sekaramg sedang herada di tempat lain dengan pemuda yang berbeda. Hah, memikirkannya saja membuat hati Safie kembali memanas, tak rela melepas Bianca meskipun status Adam adalah sahabat gadis itu.
Kepala Nila menggeleng cepat. "Gak bakal sebelum kita sampai rumah gue."
"Turun, Nila."
Samar terdengar, Nila masih bisa menangkap makna ucapan Safir yang bernada rendah itu. Safir jelas tak suka, rasa terganggu itu pasti nyata, dan Nila dengan segala keangkuhannya tidak akan peduli.

KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Rasa : Pergi
Fiksi RemajaKadang menjadi begitu terlambat menyadari sesuatu akan membekaskan rasa sakit yang tak lekang oleh waktu. Saat cerita yang kelewat singkat dilalui menghantarkan pada sakit yang menghantui. Safir sudah merasakannya. Dua kali dalam hidup ia seperti di...