Bianca tak pernah mengantisipasi kedatangan Safir sebelumnya. Bahkan dalam benaknya, Bianca tak pernah berpikir bahwa ia akan menemukan eksistensi Safir pagi ini, di rumahnya. Mungkin sudah terlambat untuk berteriak mengusir, Safir sudah duduk tenang dengan keripik singkong di meja, juga kopi dan asbak. Sialannya, ruang tamu sekarang berbau asap rokok menyengat yang meremas paru-paru Bianca kuat. Gadis itu terbatuk hebat. Dan Safir seperti tak peduli. Kata Krisna, anggap saja rumah sendiri. Jadi, Safir tidak salah, kan, jika menganggap Bianca hanya tamu?
Masih dalam kebingungan, Bianca seolah mengais kesadaran saat Krisna turun dengan setelah baju santai yang sayangnya sangat tampan. Bukannya terpesona, Bianca justru heran, kakaknya itu penggila kasur sejati. Hidup pemuda itu seperti tercipta untuk rebahan, lebih parah dari dirinya.
"Kak—"
Sebelum sempat Bianca menyelesaikan kalimatnya, Krisna memotong cepat sambil menyambar jaket di sofa. "Gue mau pergi, lo jaga rumah."
Lantas tanpa berkata lagi, Krisna menepuk bahu Safir agar pemuda itu bangkit dan mengikutnya. Bukannya tak mau, tapi Bianca jelas tidak suka dijadikan penunggu rumah sendirian. Ia bukan anjing penjaga yang dititipi wangsit menjaga rumah saat tuannya pergi.
"Ga mau, enak aja nyuruh gue jaga rumah terus lo enak-enak pergi. Gue juga mau pergi!"
Krisna menoleh sebentar, yang lantas membuat Safir ikut menoleh sambil mengangkat alis.
"Adek gue." Jawab Krisna seolah tak perlu mendengar pertanyaan yang sebenarnya dari Safir.
"Bianca," lanjut Krisna saat Safir lagi-lagi hendak membuka suara.
Tak lama, hanya hitungan menit dan Krisna berani bersumpah bahwa Bianca tidak mandi—mungkin hanya cuci muka dan gosok gigi, gadis itu sudah dengan pakaian rapi dan memakai sepatu di sampingnya.
"Disuruh jaga rumah juga."
"Gak bakal ada yang bawa kabur rumah kita, Kak. Syukur-syukur kuat ngangkatnya." Bianca menyelesaikan kegiatannya saat simpulan terakhir terikat rapi membentuk pita. Sebelum benar-benar pergi, gadis itu menyempatkan tersenyum dan mencium pipi Krisna. "Gue pergi duluan, Kak," pamitnya.
Safir diambang pintu hanya bisa diam memperhatikan interaksi kecil, namun manis itu. Bianca yang dilihatnya hari ini berbeda dengan Bianca yang ditemuinya hari itu. Macam menjadi kucing. Dan ternyata Bianca cukup manis.
"Ngeliatnya biasa aja dong. Awas copot nanti matanya." Bianca meledek Safir yang tak berkedip sama sekali memperhatikannya—mungkin, Bianca juga gak yakin.
"Gak usah kepedean."
Bianca hendak membalas. Ia tidak suka direndahkan, apalagi di depan Krisna yang selalu meledeknya. Namun, Krisna seolah lebih memihak Safir ketimbang dirinya. Kakaknya itu mendorong dirinya menjauh sambil berkata datar.
"Cepetan. Lo sama siput aja cepetan siput."
Bianca mendengus. Ia merasa diadiktirikan oleh Krisna. Semnetara Safir, entah dipungut darimana mendadak naik pangkat menjadi keluarga resmi.
Bianca baru saja membuka gerbang setinggi pundaknya saat Krisna memekik. Mau tak mau, ia harus berbalik lagi dengan raut kesal sungguhan.
"Apa!" sahut Bianca tak santai. Tubuhnya sudah setengah jalan keluar dari halam rumah. Hanya tinggal selangkah dan ia bebas.
"Tangkep!" Krisna melemparkan kunci rumah berbentuk kelinci warna merah muda pada Bianca. Membuat gadis itu terkesiap dan sedikit memundurkan badan serta melompat karena lemparan kakaknya benar-benar tidak tepat. "Gue pulang agak malem," kata pemuda itu saat Bianca mengerutkan dahi hendak bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Rasa : Pergi
Teen FictionKadang menjadi begitu terlambat menyadari sesuatu akan membekaskan rasa sakit yang tak lekang oleh waktu. Saat cerita yang kelewat singkat dilalui menghantarkan pada sakit yang menghantui. Safir sudah merasakannya. Dua kali dalam hidup ia seperti di...