BAB 23

2 0 0
                                    

Kali ini, Adam harus berpuas diri ketika hanya bisa makan siang bersama Nila. Sementara Bianca, gadis itu sudah dibawa kabur oleh pemiliknya-Safir-bahkan sebelum bel istirahat berbunyi lengkap. Kemarin, Bianca meneleponnya menggunakan nada bahagia yang nyaring. Saat itu, ia turut menyunggingkan senyum. Ingat, kan, pada prinsip orang yang bahagia, hal itu juga berlaku bagi Adam, kalau Bianca bahagia, Adam juga bahagia. Tapi ketika Bianca secara gamblang bilang, gue jadian sama Safir, rasanya dunia Adam runtuh seketika. Pemuda itu hanya bisa cengengesan dan mengucapkan selamat pada Bianca dengan nada senang pwenuh keterpaksaan. Dalam hati, ia sudah meraung menangis sambil memanggil nama Rania.

Mbak Rania, gue patah hati.

"Ekspresi lo itu bisa dikondisikan?"

Adam tersentak pelan, lalu pandangannya jatuh pada sosok Nila yang memutar jari di depan wajah dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Kenapa emang? Cetakan dari sananya udah begini."

Nila mencibir, "Gue tau lo cemburu klan lihat mereka berdua." Jarinya menunjuk pada Bianca dan Safir yang duduk bersama sambil bersenda gurau. "Gue juga cemburu."

"Cemburu apaan?" Mendadak Adam menjadi begitu penasaran. Bakso, botol saos dan botol kecap ia sisihkan ke kanan. Lalu dengan gerakan tiba-tiba, pemuda itu memajukan tubuh hingga wajahnya hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajah Nila. "Lo suka sama kak Safir? Iya? Lo suka dia?"

Mata Nila mengerjap beberapa kali guna menyadari keadaan, lantas dengan gerakan terburu gadis itu memalingkan wajah sambil menyelipkan rambut di telinga kiri. Nila yakin, pipinya pasti merona sekarang. "Lo-bisa jauhan dikit gak?"

"Sorry, reflek. Gimana? Lo suka sama ak Safir?." Adam kembali ke tempat duduknya lagi. Kedua tangannya ditekuk, jemarinya di kepalkan untuk menyangga kepala sambil terus memperhatikan Safir dan Bianca. "Tapi kalau dilihat-lihat, hampir gak ada celah buat Bianca nolak kak Safir. Yang gue maksud bukannya gue ngaku kalah, tapi kak Safir emang definisi sempurna."

Nila menghela napas lelah. "Iya dia emang sempurna." Dan gue bodoh banget pernah nolak orang sesempurna dia.

***

Bianca baru sadar, ternyata Safir memang bisa jadi semanis ini untuk orang yang pemuda itu kasihi. Kadang, Bianca sulit mendeskripsikan perlakuan kekasihnya menggunakan kata-kata, mentoknya dia hanya akan tersenyum simpul menanggapi. Sumpah, mau dikata bagaimanapun, Bianca merasa Nila begitu beruntung pernah memiliki Safir selama ini.

"kebiasaan, kan, suka ngelamun tanpa tahu tempat." Safir menjepit hidung Bianca menggunakan jari tengah dan jari telunjuk yang ditekuk setengah, membuat bentuk jepit jemuran. Lalu tertawa puas kala mendapati dengsuan sebal Bianca.

"Dibilang Sakit masih aja dilakuin," dengusnya sambil mengambil paksa helm yang diserahkan Safir.

"Kurang-kurangin kebiasaan ngelamunnya. Iya kalau ada yang nyadarin kamu, kalau gak ada gimana? Apalagi kalau di jalan, aku gak mau kenapa-napa, Bi," pinta Safir sambil memasangkan helm kepada Bianca. Lalu tersenyum sambil menutup kaca helm dan menyruh Bianca segara naik.

Motor Safir baru saja keluar dari gerbang sekolah, tapi tiba-tiba pemuda itu segera menghentikan laju sepeda motor dan menepi ke trotoar.

"Kenapa?" Bianca menaikan kaca helmya sambil melongok melalu celah antar leher dan bahu pemuda itu. Kemudian, alisnya semakin tertaut tak mengerti ketika Safir justru melepas jaket dan memberikan benda itu upadanya.

"Anginnya kenceng, Bi. Kamu pakai aja jaketku biar gak kedinginan."

Kepala Bianca menggeleng. "Aku udah pakai jaket, jadi yang ini kamu aja yang pakai." Tangannya kembali menenggerkan jaket itu pada bahu lebar Safir. "Ini aja udah cukup kok,apalagi ada kamu. Kamu, kan, definisi hangatku." Bianca tidak tahu sejak kapan kemampuan merayunya meningkat seperti ini, mungkin terlalu sering mendengar Krisna yang berlatih merayu si manis pujaan hati.

Elegi Rasa : PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang