"Kok ngelamun terus?"
Nila seakan tersentak dari lamunan saat Grey menepuk pundaknya. Gadis itu gelagapan, lantas menggeleng dan bergumam, "Gak apa-apa. Cuma lagi banyak pikiran."
"Mau cerita?" Grey beralih duduk di sebelah Nila, menatap gadis itu lekat dengan pancaran yang sangat Nila butuhkan, perhatian dan pengertian. "Ada masalah apa?"
"A--aku ..." Tak kuasa melanjutkan kalimatnya, Nila menitihkan air mata. Bagaimana ia bisa mengatakan bahwa dirinya dijodohkan padahal sudah berstatus pacaran dengan Grey. Ia tidak bisa. Hal itu akan menyakiti Grey.
"Lah, kok malah nangis sih? Aku kan gak gigit kamu," ucapnya berusaha melawak. Meski pada akhirnya tak berhasil, Nila masih menangis dan ia bingung mau melakukan apa. "Kamu gak percaya sama aku? Aku bisa jaga privasi kalau emang kamu gak mau siapapun tahu, aku bisa jadi sandaran kalau kamu memang butuh. Kamu tahu, aku udah jadi milik kamu--"
"Aku dijodohin."
Bagai tersambar petir di siang bolong, Grey berhenti berbicara. Mulutnya terbuka setengah dengan pandangan tak percaya. Dirinya yang masih terbawa euforia karena berhasil menjalin hubungan dengan Nila teramat kaget. "Ka-kamu bilang apa?"
"Aku dijodohin Grey, sama teman kecil aku. Aku dipaksa nikah sama dia." Nila kembali tergugu. Meski tak seratus persen benar, tapi kemungkinan besar dari adanya pertunangan adalah pernikahan. "Dan kami mau ngadain acara makan malam ini, padahal aku udah janji keluar sama kamu."
Grey terdiam lama. Berusaha memikirkan pilihan terbaik meski tak menemukan apapun sebagai jalan keluarnya. Pemusa itu mendesah pasrah, "Kalau gitu kamu nurutin orang tua kamu--"
"Grey!" Nila menyentak. Bukan ini yang ia harapkan, Nila berpikir Grey akan menawarkan sesuatu lain yang ia bayangkan, kabur misalnya. Bukannya menyerah tanpa perlawanan. Apa Grey hanya bermain-main dengannya.
"Orang tua kamu jauh lebih berharga dari aku, Nil. Surga ada di telapak kaki ibu, kamu gak pengen, kan, kehilangan surgamu?"
"Mama udah pergi." Nila menolak gagasan Grey. Mamanya memang sudah pergi lama, bukan meninggal, tapi tinggal terpisah bersama suami barunya.
"Berarti ayah--"
"Aku gak punya papa. Aku sudah anggap dia mati lama, dia nyakitin mama sampai mama pergi dari aku. Dia terlalu jahat buat ukuran seorang papa."
Grey menyerah. Nila itu bebal, keras kepalanya susah sekali diluluhkan. "Terus kamu mau apa?" tanyanya meminta pendapat.
"Bawa aku kabur. Kita tetap jalan-jalan malam ini, sesuai rencana."
"Tapi--"
"Kamu mau nyerah buat perjuangin aku? Kamu mau aku nikah sama seseorang yang gak aku cintai?"
Grey lagi-lagi pasrah. Sebenarnya, pemikiran Nila terlalu jauh jika sampai pada suatu ikatan bernama pernikahan. Tapi bukan salah juga, setiap pertunangan akan sulit diretakkan meski tak didasari cinta. Dan dengan akhie yang bahagia atau menyedihkan, keduanya akan menikah.
Maka, seperti tak diberi pilihan, pemuda itu mengangguk dan mengulurkan tangan pada Nila. Sejenak, Nila merasa
Seperti deja vu, saat pertama kali bertemu Grey, pemuda itu juga mengulurkan tangan untuk membantunya.Nila menerima uluran tangan itu dengan senyum kecil menawan.
"Buat hari ini, aku bakal jadiin kamu putri paling beruntung di dunia," kata Grey malam itu sebelum mengajaknya pergi.
Dan Grey memang tak main-main dengan perkataannya. Pemuda itu benar-benar menjadi Nila sebagai manusia paling beruntung di dunia hari itu. Keduanya berjalan bersama, pergi menaiki wahana, makan es krim satu untuk berdua dan hal menyenangkan lainnya. Final-nya, saat Grey tak membiarkan Nila berjalan barang semeter pun saat pulang, pemuda itu dengan sabar menggendong Nila di punggung sejak dari halte hingga rumah besar Nila tampak di ujung jalan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Rasa : Pergi
Teen FictionKadang menjadi begitu terlambat menyadari sesuatu akan membekaskan rasa sakit yang tak lekang oleh waktu. Saat cerita yang kelewat singkat dilalui menghantarkan pada sakit yang menghantui. Safir sudah merasakannya. Dua kali dalam hidup ia seperti di...