Satu alasan kenapa Adam masih mau berteman dengan Bianca yang galak dan kasar adalah rasa yang entah tumbuh dari mana. Seingatnya, ia tak pernah menabur benih sama sekali, apalagi menyiram dan merawatnya. Tapi entah mengapa, rasa itu tumbuh subur di hati. Seperti memang disemai untuk nantinya dituai.
Ragu itu jelas ada, takut mendominasi. Adam hanya tak ingin persahabatannya dengan Bianca hancur karena rasa yang tak semestinya ada. Dirinya boleh saja menerima, tapi Bianca. Melihat eksprsi gadis itu beberapa waktu lalu membuat Adam yakin, Bianca tak menyukainya. Sedikit pun tidak.
Putus asa jelas pernah menghampiri, meski akhirnya perhatian dari Bianca yang menepisnya jauh. Di bawah selimut hari minggu ini, Adam bisa mencecap dengan jelas rasanya kekalahan. Sungguh, apalagi melihat Bianca duduk berdua dengan kakak kelasnya, Safir. Hati Adam terbakar hebat. Panas menjalar hingga memilih berlari pulang.
Mama, Adam sakit hati, raungnya dalam batin.
Hatinya remuk.
Niat Adam pergi ke car free day tadinya hanya ingin membeli balon berbentuk boneka Doraemon untuk sang keponakan yang akan datang hari ini. Sekedar menjadi alat bermain yang mengasyikkan sementara dirinya mabar bersama kawan-kawan.
Masih tergambar dengan jelas bagaimana cara Bianca berbicara dan menggandeng tangan Safir sambil berlari. Membuat dada sebelah kirinya nyeri bukan main. Seperti ada yang menusuk hingga ke belakang. Hatinya berdenyut sakit. Seperti luka tanpa bekas, tanpa darah namun jelas alasannya.
Adam cemburu.
"Adam!"
Mengakhiri masa galaunya sementara waktu, mungkin akan ia lanjut nanti sore bersama detik-detik matahari tenggelam. Adam segera turun. Keponakannya mungkin sudah sampai. Balon yang tadi hendak di belinya tidak ada, terlalu fokus pada Bianca dan hati yang meradang. Jadilah hati ini ia akan mengurusi sang keponakan yang baru berusia tiga tahun tanpa bermain game online.
"Mbak sendirian?" Adam beriniat mengambil alih Raka--nama keponakannya--dari Rania--kakak iparnya. Ia selalu gemas setiap kali melihat bayi itu. Pipi gembul, badan gembul dan mata bulat besar. Menggemaskan!ebih dari Bianca biasanya.
Rania mengeleng sambil sedikit memutar tubuh untuk menjaga Raka tetap tidur dan anteng. Lalu melotot dan menepis tangan Adam kasar karena pemuda itu hendak megambil paksa.
Adam mencebik, wajahnya tertekuk masam. Lalu, pemuxa itu mendudukan diri di sofa sambil meluruskan kaki.
"Adik temen mbak ikut ke sini, katanya mau belajar buat kue."
Adam mengangguk. Lalu mendecih, Raka di berikan padanya setelah sempat ditolak. "Raka udah minum susu belum?" Adam menggoyang-goyangkan tubuh Raka yang terbangun. Dan dengan gemas, menciumi wajah hingga pada leher bayi itu.
"Udah dong!" Rania mewakilakan, menjawab dengan senyum cerah dan cekikikan.
"Maaf, Mbak. Aku tadi masih harus ngurus temen dulu."
Adam menoleh dengan wajah kaget, gendongannya pada Raka hampir terlepas jika Rania tidak segera memukul bahu Adam, menyadarkan dari kekagetan.
"Mbak." Adam menoleh sebentar kepada Rania lalu kembali mengalihkan atensinya pada gadis tadi. "Siapa?" Adam bukannya tak ingat, dia gadis yang memberinya tisu dengan imbalan semangkok mie ayam.
"Nila, adik temennya mbak. Kasian sendirian di rumah, jadi mbak aja ke sini."
Kepala Adam manggut-manggut mendengarnya. Lalu kembali sibuk dengan Raka sebelum Rania menariknya paksa.
"Kamu ajak ngobrol gih, mbak mau siapin bahan-bahan bareng mama. Nanti kalau udah siap mbak panggil kamu," jelas Rania sambil membawa Raka ke atas, hendak di tidurkan di kamar Adam seperti biasa.
![](https://img.wattpad.com/cover/312148281-288-k945372.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Rasa : Pergi
Novela JuvenilKadang menjadi begitu terlambat menyadari sesuatu akan membekaskan rasa sakit yang tak lekang oleh waktu. Saat cerita yang kelewat singkat dilalui menghantarkan pada sakit yang menghantui. Safir sudah merasakannya. Dua kali dalam hidup ia seperti di...