Kadang kala, Nila tak selalu menjadi sosok yang egois dan mementingkan diri sendiri. Juga bukan seorang gadis yang dikuasai hawa nafsu untuk tetap memiliki tapi terus menyakiti. Terkadang, Nila bisa menjadi begitu menyesal atas suatu hal. Menyesal karena tidak menuruti perintah papa misalnya.
Potongan kejadian masa lalu itu masih tergambar jelas. Bagaimana senangnya Grey saat mereka menjalin suatu hubungan yang sudah jelas tidak memiliki harapan. Bagaiman tegarnya Grey saat diperlakukan secara tidak manusiawi—Grey tetap tersenyum dan berkata tidak apa-apa. Bagaimana perjuangan Grey mempertahankan dirinya hingga harus masuk ke rumah sakit. Juga bagian paling menyakitkan, saat Grey rela berkorban nyawa.
Nila hanya merasa begitu buruk.
Harusnya, jika saat itu ia dengan sukarela mengkuti perintah papa. Grey pasti akan tetap di sini, meski tidak secara pasti ada di sampingnya, tapi Nila tentu masih bisa meliha senyum Grey dari jauh. Senyum manis yang ia rindukan..
Penyesalan lainnya baru datang hari ini. Harusnya Nila cukup tahu jika semua orang memiliki batas menyerah. Peduli setan dengan kalimat sabar tidak ada batasnya atau perjuangan sejati tidak mengenal rasa lelah. Sungguh, sebodoh-bodohnya orang, meraka pasti akan berhenti di satu titik dan berpindah ke yang lain. Termasuk Safir.
Mengejutkan sekali saat pagi-pagi Safir menghubungi menggunakan nada ketus yang tidak Nila kenali. Sungguh, dirinya terlalu biasa denga Safir yang hangat meski dirinya menjadi sedingin es atau setidakpeduli patung. Dalam pikirnya, Safir akan terus menjadi budak cinta yang buta, tuli dan tidak bisa merasakan apapun selain rasa cinta yang teramat besar terhadap dirinya.
Pemuda itu meminta bertemu di siang hari, pukul sepuluh. Tak tahu persis apa yang akan dibicarakan, yang pasti, Nila merasa buruk akan pertemuan ini. Dam segalanya terbukti saat Safir mengatakan maksudnya menggunakan nada dingin yang ketus.
"Gue mau nyerah."
Nila yang sejak tadi menghindari pandangn Safir terburu menoleh dngan wajah kaget meminta penjelasan. "Maksudnya?"
Safir tetawa kecil, ujung bibirnya terangkat sinis. "Bukannya ini keinginan lo sejak lama, pertuangan ini batal. Gue nyerah sama lo."
Nila menggigit bibir dalamnya gusar. Ujungn bajunya yang berenda diremat kuat guna menyalurkan rasa tidak nyaman yang menyerang. Bahkan, panggilan aku-kamu yang biasa Safir gunakan berubah menjadi gue-lo yang terdengar asing sekali, seperti mereka belum pernah saling kenal.
"Maksudnya ... kenapa—sekarang?" cicit Nila di akhir kalimat. Kenapa saat dirihya mulai menerima kehadiran Safir dan melupakan bayangan Grey yang pernah tinggal lama, pemuda itu justru menyerah. Padahal, sebentar lagi, jika Safir berusha sedikit keras, Nila akan menerima sepenunya pemuda itu.
"Kalau bisa gue lakuin sekarang kenapa harus nanti? Dan apa-apaan respon lo? Nyesel?"
Nila tahu, Safir sedang meledeknya saat ini. Dan beruntungnya, ledekkan itu tepat sasaran. Nila menyesal. Sangat.
"Gue capek menjuangin sesuatu yang gak pasti. Ketika gue udah nemuin yang mau nerima gue apa adanya ... kenapa gue mesti repot-repot seseorang yang gak mau ngeliat ke arah gue?" Safir menarik napas panjang. "Gue sadar kalau gue itu bodoh banget merjuangin lo yang cuma ngeliat ke arah Grey. Bahkan saat Grey pergi, lo tetep ngarepin dia dan gak pernah nganggep gue ada."
Nila tahu, ia terlalu lambat menyadari, bukan, ia hanya terlalu malu mengakui bahwa sudah jatuh hati pada sosok Safir. Hanya saja, dendam hatinya yag belum reda memaksa gadis itu memakai topeng balas dendam. Mengekang yang menyakitkan.
"Kalau ... gue udah mulai ngebuka hati buat lo—" Nila menarik napas panjang sambil menyiapkan hatinya yang sedang bergejolak. "Apa lo masih mau mertahanin pertunangan ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Rasa : Pergi
أدب المراهقينKadang menjadi begitu terlambat menyadari sesuatu akan membekaskan rasa sakit yang tak lekang oleh waktu. Saat cerita yang kelewat singkat dilalui menghantarkan pada sakit yang menghantui. Safir sudah merasakannya. Dua kali dalam hidup ia seperti di...