Empat bulan lalu, Bianca kehilangan setengah hidupnya. Raga miliknya hanya tubuh tanpa nyawa.
Empat bulan lalu, Bianca mengalami hari yang kelam. Berita itu laksana pedang yang menhunus hatinya hingga hancur tak bersisa. Meninggalkan rasa sakit yang tak terkira.
Awalnya, Bianca hanya menganggap itu lelucon. Sungguh, saat jam pelajaran kedua, yang bahkan baru berlangsung beberapa menit, Krisna terengah di depan kelas untuk menjemputnya. Bianca pikir, mereka akan menjemput ayah untuk pulang ke rumah. Kata dokter waktu itu, ayah bisa pulang secepatnya.
Namun, Bianca tak pernah tahu, arti pulang itu bukanlah yang sebenarnya. Tapi kemungkinan terburuknya.
Pergi selamanya.
Semangat sempat membara. Bianca mengemasi tasnya dengan riang. Tak begitu memperhatikan bagaimana raut wajah Krisna yang tak enak dipandang. Sarat akan kesedihan yang mendalam.
Dan semuanya seperti terbanting hingga Bianca tak tahu di mana dia berpijak. Saat itu, ia melihat mama menangis di lobi rumah sakit. Asumsi buruk berlomba masuk ke dalam pikiran gadis itu. Menggeser secercah harapan yang ia bangun susah payah.
Ayah pasti sembuh.
Memantapkan diri sambil memandang Krisna yang menunduk sedih, Bianca mencoba berpikir lebih jernih. Mungkin saja, mama terlalu bahagia sampai menangis. Mungkin saja Krisna baru saja menyelesaikan ulangan matematika yang kelewat rumit. Dan kemungkinan-kemungkinan lain yang berubah menjadi belati bagi dirinya sendiri.
Bianca jatuh.
Sakit. Hingga entah sejak kapan, air matanya mengalir tanpa bisa dibendung.
Mama pelan sekali berjalan ke kamar inap ayah. Sementara Bianca, gadis itu sudah berlari kesetanan hanya karena mendengar perawat rumah sakit bertanya pada mama.
"Jasad Bapak Abidin mau dimandikan di sini atau di rumah saja?"
Kalaupun ada manusia yang paling gila sekarang, Bianca orangnya. Tak peduli berapa pasien yang ia tabrak. Tak peduli pada seruan berhenti dari Krisna. Tak peduli pada suster yang berteriak agar lebih pelan.
"Ini rumah sakit! Bukan taman bermain! Dasar anak sekolahan tidak tahu tempat!"
Yang Bianca tahu saat itu, kamar inap ayah bersih dari alat-alat penyangga kehidupan. Sempurna lenggang. Bianca tak punya waktu untuk mengabsen apa saja isi di dalamnya, karena sang waktu pun tahu, atensi Bianca sepenuhnya mengarah pada ranjang yang tertutup kain putih hingga kepala.
Krisna sudah berdiri di ambang pintu. Tiba-tiba tenaganya hilang, padahal tadi sempat berlari mengejar Bianca. Entah bagaimana rasanya, Krisna tak punya cukup kata untuk menggambarkan rasa sakit itu. Terlalu menikam, terlalu menyesakkan, terlalu menyakitkan.
Bisa dilihatnya punggung Bianca yang bergetar, juga kepala gadis itu yang menggeleng tak percaya. Bianca menoleh, menatap Krisna meminta penjelasan bahwa semua ini hanya ilusi semata.
Tidak akan pernah terjadi. Dan jangan pernah.
Namun nyatanya, satu anggukan lemah membuat pertahanan Bianca roboh seketika. Gadis itu jatuh terduduk dengan air mata yang kian merebak. Napasnya yang tercekat membuat Bianca kesulitan untuk mengucap pertanyaan.
Ayah belum pergi, kan?
"Gak, gak, gak boleh. Enggak! Ayah!" Bianca berteriak. Patah-patah ia mendekatkan diri pada sang ayah yang terbujur kaku. Air matanya menetes lebih banyak. Kepalanya menggeleng lebih keras. "Engak ayah! Gak boleh! Ayah Gak boleh pergi! Enggak! Jangan pergi! Gak mau! Bianca gak mau ditinggal ayah! Ayah!"
Teriakan histeris Bianca mengarahkan Krisna untuk keluar. Teramat sakit melihat bagaimana wajah pucat sang ayah yang mendingin. Bagaimana derai tangis Bianca yang menggema di penjuru ruangan. Dan mama di ujung belokkan yang seperti mayat hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Rasa : Pergi
Teen FictionKadang menjadi begitu terlambat menyadari sesuatu akan membekaskan rasa sakit yang tak lekang oleh waktu. Saat cerita yang kelewat singkat dilalui menghantarkan pada sakit yang menghantui. Safir sudah merasakannya. Dua kali dalam hidup ia seperti di...