BAB 16

1 0 0
                                    

Sejak hari itu, Bianca dan Safir menjadi sedikit lebih dekat. Keduanya sering menghabiskan waktu bersama saat istirahat. Dan sepertinya, eksistensi Nila mulai sedikit terlupakan, meski tak jarang Safir akan terang-terangan mendeskripsikan seorang Anila Jelita bagi dirinya di depan Bianca.

Tanpa tahu, bahawa Bianca muak mendengarnya. Seperti tidak rela akan fakta Nila jauh lebih berharga bagi Safir.

Pagi ini, untuk kesekian--delapan kalinya selama dua minggu--Safir menjemput Bianca untuk berangkat sekolah bersama. Sepengetahuan Safir, Bianca masih mengobarkan perang dingin terhadap Krisna. Dan Krisna sepertinya tak ambil pusing, pemuda itu pikir, Bianca hanya butuh waktu untuk mengerti.

"Kemarin Bianca tiba-tiba masuk kamar terus ngajak tidur bareng. Dia meluk gue erat kayak kalau dilepas aja gue bakal pergi. Rasanya dia jadi anak kecil lagi," cerita Krisna pada Safir seminggu lalu.

Senyum kecil Safir muncul saat Bianca bergegas menghampirinya dengan wajah cemberut. Safir tak tahan untuk tidak mengusap pipi Bianca yang menjadi candunya beberapa hari belakangan ini, pipi tembam yang kenyal sekali.

"Kenapa lagi, hm?" Safir menyerahkan helm kepada Bianca yang diterima demgan rengutan kesal. Tak ada jawaban, hanya dengusan dan diringan agar Safie segera menghidupkan mesin.

"Jangan banyak bacot, gue lagi badmood."

Itu peringatan, Bianca memberi peringatan seperti; kalau ngomong lagi gue makan lo hidup-hidup. Dan Safir jelas tak ingin nyawanya melayang pagi ini. Ia masih ingin menikah dengan Bianca--Nila maksudnya--punya anak dan hidup bahagia.

Bahkan sampai sampai sekolah, Bianca masih diam. Gadis itu asal-asalan meletakan helm hingga Safir harus cekatan meraih helm merah itu agar tidak jatuh menggelinding di atas paving.

Tak lama, Krisna datang memarkirkan motor di sampingnya dengan wajah frustasi.

"Bianca lagi kedatengan tamu apa gimana sih?"

Krisna tersenyym sengau, lalu menggeleng. "Mama nunda jadwal pulang lagi, dia masih marah sama gue yang gak mau berhenti ngerokok. Uring-uringan jadinya."

Lama sekali Safir memandangi punggung Bianca yang akhirnya menghilang di balik koridor setah ditarik paksa oleh Adam. Sebenarnya, ada niat terselubung dalam hati untuk mengejar dan menjauhkan Bianca dari Adam. Sedikit rasa dari hatinya tidak terima, selebihnya mengasumsikan bahwa sahabat memang begitu.

"Gue duluan." Krisna menepuk bahu Safir sebelum pergi. Safir sejenak hanya terpaku, lalu balas tergopoh hendak menyusul. Namun, baru dua langkah tercipta, Safir harus berhenti kembali saat namanya dipanggil dari belakang.

"Safir."

"Oh, hai." Entah kenapa, rasanya kikuk sekali menyapa Nila yang selama beberapa hari ini sempurna hilang dari pandangannya. Seperti harus membangun kesan baru, padahal yang lama saja belum hilang. Rasa cinta sampai menjadi bodoh yang mulai terkikis sejak mengenal Bianca.

"Kita perlu bicara," lanjut Nila dengan wajah datar tidak bersalahanya. "Gak di sini."

Melihat arloji di pengelangan tangan, Safir menimang pilihan. Ikut dengan resiko telat masuk, atau menolak dengan pilihan membuat pertemuan baru. Itu kalau Nila mau ber--

"Sekarang atau enggak sama sekali." Nila mempertegas bahwa ia tak akan mengulangi hal ini lagi. Jadi Safir dengan segala kepatuhannya mengekor di belakang Nila.

Tanpa pernah Safir duga, Nila justru membawanya ke lapangan indoor, tempat yang sepi sekali saat jam pelajaran pertama di mulai. Gadis itu duduk di kursi terbawah tribun, di susul Safir di sampingnya. Namun, baru saja Safir setengah duduk, Nila menggeser tempat hingga tiga tempat duduk dan memperingati Safir agar tak mengikutinya.

Elegi Rasa : PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang