Malem-malem update nih hehe, jangan lupa follow dan vote. Happy reading!
•••
Livi tidur dengan pulas karena kelelahan. Ponsel Livi masih tergeletak di lantai. Ponsel yang pecah karena dibanting Livi ternyata masih berfungsi. Layar ponsel tersebut menyala otomatis ketika ada notifikasi masuk. Ternyata notifikasi yang masuk berasal dari grup WhatsApp teman-teman Livi.
Laras: Bukan Bima ketua osis. Itu, Abima kakak kelas kita. Dia kelas 12.
Geby: Owh kirain Bima ketua osis. Hampir nangis kejer gue!
Dea: Idih
Sayangnya notifikasi dari grup WhatsApp itu tidak terbaca oleh Livi. Livi masih terlelap dalam tidurnya.
•••
Jam kini menunjukkan pukul 08.00. Hari ini seharusnya Livi berangkat sekolah, namun Livi masih berada di atas kasurnya dengan baju santainya yang sedikit masih basah karena kehujanan kemarin. Livi tidak mempunyai semangat, bahkan hanya untuk berganti baju. Pagi yang cerah, tapi tidak bagi perasaan Livi.
Livi melamun dalam keadaan berbaring menatap langit-langit. Livi masih mencerna semua kejadian selama beberapa hari ini.
"Bima? Mati?" ucap lirih yang berasal dari mulut Livi. Livi sedikit tidak percaya dengan semua yang telah terjadi, ia ingin membuka ponselnya untuk menanyakannya kepada Laras lewat chat. Tapi, Livi benar-benar takut membuka ponselnya jika saja Bima ternyata memang kecelakaan.
Cukup lama Livi melamun, sampai akhirnya ia merasa lapar. Livi ingat akan belanjaan sayurnya yang tertinggal di taman, alhasil ia hanya akan memasak mie instan. Dengan langkah pelannya, Livi sampai ke dapur.
Baru saja akan ke dapur, Livi tak sengaja melihat Belinda yang masuk rumah dengan langkah yang mengendap-endap. Belinda pun terkejut melihat Livi yang masih dirumah. Belinda berani masuk ke dalam rumah Livi karena mengira Livi sudah berangkat sekolah.
Belinda tadi malam pergi menemui Nathan. Entahlah, dia berpikir daripada menghabiskan waktu untuk melamun, lebih baik menghabiskan waktu berduaan dengan Nathan. Belinda akhirnya kembali ke rumah Livi pagi tadi.
"L-Livi, kamu g-gak sekolah?" tanya Belinda yang terbata-bata, antara malu karena ketahuan mengendap-endap atau takut jika Livi marah seperti saat di taman kemarin.
"Males."
Belinda hanya diam dan tersenyum canggung menatap Livi. Livi dengan wajah datarnya melangkah ke arah dapur diikuti dengan Belinda.
Livi menyiapkan panci kecil dan mengambil satu bungkus mie instan rasa soto. Livi memanaskan air, dan ia hanya berdiri menunggu air mendidih.
"Livi, maaf."
Livi yang mendengar suara Belinda hanya menanggapinya tanpa menoleh menghadap Belinda.
"Maaf?"
"Iya, maaf karena aku malah mau pergi. Tenang aja, aku pergi saat kamu ikhlas, Livi. Besok kalo aku pergi kamu ha-"
"Tentang itu, gausah dibahas lagi," potong Livi. Livi benar-benar malas membahasnya. Livi tidak ingin menambah beban pikirannya lagi.
"Maaf, Livi," jawab Belinda tanpa ditanggapi Livi.
Setelah mie instan jadi, Livi segera menyantapnya. Jika biasanya Livi akan menyetel TV atau menonton film di ponselnya, tapi kali ini Livi hanya fokus ke kegiatan makannya tanpa menonton hiburan apapun. Melihat itu, Belinda merasa janggal.
"Tumben ga nonton acara TV apa nonton film?"
"Males."
Belinda mengangguk-angguk tanda mengerti. Sepertinya, Livi masih marah dan tidak ingin diganggu. Belinda pun memutuskan beranjak pergi menuju halaman rumah. Namun saat hendak pergi, Livi mencegahnya.
"Gausah pergi dulu. Gue butuh lo sekarang."
Belinda tersenyum hangat mendengarnya, ia pun kembali duduk di samping Livi. Namun senyum hangatnya seketika pudar setelah Livi mengucapkan sesuatu.
"Bima.. meninggal."
Air mata Livi kembali jatuh membasahi pipinya. Livi menatap lurus dengan pandangan kosongnya. Kegiatan makan mie instannya seketika terhenti. Mangkok berisi mie instan itu berada di pangkuan Livi.
Belinda yang mendengar itu sangat terkejut. Hati Belinda terasa sakit lagi, walaupun dia tidak terlalu akrab dengan Bima, namun Bima tetap temannya. Terlebih lagi dihadapannya kini, Livi adalah teman dekat Bima dan Livi menangis. Bagi Belinda, lebih baik ia melihat Livi menangis sambil berteriak daripada harus melihat Livi menangis namun hanya diam dengan tatapan kosong. Melihat itu benar-benar sangat menyakitkan untuk Belinda.
"B-benarkah? Kamu bercanda kan, Livi?"
Livi menggeleng pelan dengan ekspresi datar dan tatapan kosongnya, namun air matanya masih terus menetes. Belinda benar-benar bingung harus bagaimana, ia juga sedih kehilangan Bima.
"Kenapa aku harus pergi disaat Livi kehilangan Bima dan ditinggalkan orang tuanya? Kenapa aku harus pergi disaat Nathan baru saja menjalani hubungan spesial denganku dan disaat Nathan ditinggal pergi juga oleh Bima? Kenapa aku harus pergi disaat semua yang berada di dekatku sedang sedih?" batin Belinda sambil memukul-mukul dadanya karena sesak. Kini, Belinda benar-benar merasa bersalah.
"Bagaimana ini? Apakah aku tetap akan pergi? Aku pun tidak tau kapan aku pergi. Argh, bagaimana ini?!" batin Belinda. Kini Belinda mengacak-acak rambutnya. Ia benar-benar dibuat bingung dan merasa bersalah kepada Livi dan Nathan. Belinda tanpa sadar membenci dirinya sendiri.
Hingga akhirnya lamunannya buyar karena tiba-tiba Livi pingsan. Untung saja Livi berada di kursi panjang, jadi badan Livi tidak akan jatuh ke lantai. Namun mangkok berisi mie instan itu tumpah lalu kuahnya membasahi baju dan tubuh Livi. Belinda panik melihatnya.
"Astaga, bagaimana ini?! Kuah itu masih sangat panas! Bisa-bisa kulit Livi melepuh!!"
Belinda mencoba menyingkirkan mangkok mie instan itu namun tidak bisa. Tangannya selalu saja menembus dan tidak berhasil memegang mangkok itu. Belinda frustasi. Belinda pun memanggil tetangga Livi dengan cara mengganggu anjing milik tetangganya itu.
Hewan bisa melihat makhluk halus dan anjing itu juga bisa. Anjing itu mengejar Belinda. Belinda berlari dan memancing anjing itu ke arah rumah Livi. Pemilik anjing yang sedang menyapu halaman pun terkejut melihat anjingnya berlari dan masuk ke rumah Livi. Dia pun berlari menyusul anjingnya, dan terpaksa ikut masuk ke rumah Livi.
Terkejutnya ia saat melihat Livi yang pingsan dan kulitnya yang sedikit memerah akibat terkena kuah mie instan panas yang tumpah. Tetangga nya yang diketahui bernama Bu Warni itupun segera menyingkirkan mangkok itu dan mengambil kain untuk mengelap tangan dan baju Livi yang kotor terkena kuah. Bu Warni berusaha membangunkan Livi. Karena Livi tak kunjung bangun, Bu Warni memanggil suaminya untuk membawa Livi ke klinik terdekat.
Bu Warni dan suaminya melajukan mobilnya dengan cepat. Mereka akan membawa Livi ke klinik agar segera bangun dan kulitnya yang memerah supaya bisa terobati. Belinda yang melihat itu pun, sedikit tersenyum lega. Akhirnya idenya menyelamatkan Livi berhasil.
"Terimakasih Bu," ucap Belinda walaupun Bu Warni dan suaminya tidak bisa melihatnya.
Belinda pun menengok ke arah kanan dan melihat anjing berbulu lebat berwarna putih itu duduk manis dan melihat ke arahnya. Anjing itu memiringkan kepalanya ke kiri dan itu terlihat sangat menggemaskan. Ya, itu adalah anjing milik Bu Warni yang masih berada di dalam rumah Livi. Mungkin Bu Warni lupa mengeluarkan anjingnya dari rumah Livi saking paniknya melihat Livi pingsan.
Belinda pun berjongkok di depan anjing itu dan tangannya mengelus kepala anjing itu. Walaupun tangannya menembus dan tidak merasakan lembutnya bulu anjing itu, tapi Belinda tetap melakukannya.
"Terimakasih ya, anjing pintar!"
"Guk!"
Terdengar gonggongan dengan suara kecil yang berasal dari anjing itu. Anjing itu menggoyangkan ekornya. Belinda sangat gemas melihatnya.
"Aku akan menyusul Livi ke klinik, kamu bisa pulang sekarang. Sekali lagi, terimakasih," ucap Belinda kepada anjing itu diiringi senyuman hangat.
Seakan mengerti akan perkataan Belinda, anjing itu berlari dengan langkah kecil keluar dari rumah Livi. Dengan sekejap, Belinda menghilang. Belinda sedang menuju ke klinik.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah
Teen FictionHanya menceritakan seorang perempuan yang dipertemukan oleh seorang laki-laki. Livi dan Bima. Keduanya mempunyai kelebihan yang sama, yang tidak dimiliki oleh semua orang. Indigo, mampu melihat 'mereka' yang tak kasat mata. Livi, mempunyai keluarga...