Kisah VIII

306 22 1
                                    

Satu minggu kemudian. Termenung sambil memetik sayur - sayur segar yang ia tanam dan rawat sendiri. Wanita tua ini rupanya sedang memikirkan sesuatu. Bu Sitah, ibunda Asna sebenarnya adalah seorang wanita yang berhati lembut. Dirinya bahkan tidak pernah berpikir untuk menikah lagi setelah suaminya memutuskan untuk hidup ditempat masing-masing.

" Mengapa perasaanku tidak enak seperti ini. Tidak pernah rasanya aku gelisah yang berlebih.. Aku berharap anakku baik-baik saja disana. " Ucapnya.

Saat kembali ke rumah, dan melihat-lihat foto Asna serta suaminya yang sempat menginap di hari itu. Ibunda Asna rupanya sedang merindukan putrinya. Ia mengelus wajah anaknya di foto itu. Tanpa sadar air matanya pun jatuh.

" Maafkan ibu sayang. Seharusnya dulu ibu lebih memperjuangkan agar tetap bisa bersama kamu. Tapi ayahmu bersikeras memisahkan kita. Ibu sadar saat itu, ibu bukan wanita yang baik. Bagaimana mungkin ibu bisa menjadi seorang ibu yang baik untuk kamu? Sekarang, ibu senang. Ternyata memang lebih baik kamu tumbuh bersama ayahmu. Kamu bisa bersama dengan seorang lelaki yang baik dan mencintaimu. Ibu berdoa, semoga keluarga mu selalu dalam lindungan Allah. Ibu akan cari alamat mu, dan berkunjung esok. "

Menyesal, pasti ia rasakan. Tapi Ibunda Asna juga menyadari bahwa saat itu dirinya salah dan tidak pantas untuk merawat Asna. Dan sekarang, bukan waktunya untuk menyesali kejadian di masa lalu. Ia senang, anaknya dengan mudah menerimanya. Dan esok, Ibunda Asna akan mencari alamat rumah Asna untuk berkunjung. Rasa rindu itu tidak bisa tertahan lagi, hatinya sudah begitu gelisah.

Besok harinya, ketiga menantu Umi sedang asik mengobrol di teras rumah. Ka Jannah sedang sibuk menelpon guru Raisya yang saat ini tengah bersiap untuk lomba. Sedangkan Sarah dan Asna, sedang saling curhat betapa lamanya mereka tidak merasakan liburan selama sebulan ini.

" Okeh siap. Hah.. Semoga anakku menang. " Ucap Ka Jannah sambil menutup teleponnya.

" Aamiin.. " Sahur Asna mengaminkan.

" Ka, nanti sore cari angin yuk." Ucap Ka Sarah mengajak Jannah.

" Kemana? " Tanya Jannah.

" Ke bukit belakang rumah. Sudah lama rasanya kita tidak kesana. Asna pasti belum tahu itu." Jawab Sarah.

" Wahh, ada ya bukit di belakang? Aku mau kak kesana. Udah lama aku ga hirup udara di atas bukit. Kalau dulu waktu aku masih SMA, aku suka tuh tiap minggu naik gunung sama teman-teman ku. " Ucap Asna.

Ka Jannah dan Ka Sarah seketika langsung saling menatap. Asna rupanya begitu antusias ingin ikut bersama Sarah mencari angin ke atas bukit sore hari nanti. Dirinya sampai tidak memikirkan betapa sulitnya ia menanjak dalam keadaan yang sedang hamil besar.

" Kamu serius mau ikut Asna? "

" Iyahh.. Mengapa tidak? "

" Mm.. Baiklah, sore ini kita kesana. "

Entah apa yang akan terjadi. Wanita tua ini masih terus berusaha mencari keberadaan rumah Asna. Ia hanya mengandalkan nama kota dan desa saja tanpa tahu pasti dimana rumahnya. Karena rasa rindu yang begitu dalam, Ibunda Asna pun tidak kenal lelah walau dirinya harus berjalan kaki ke satu rumah ke rumah yang lainnya.

Pada sore hari, Albhi sedang memantau CCTV di handphone nya. Selama seminggu lebih ini. Ia benar-benar tidak melihat perlakuan buruk dari kedua iparnya. Albhi merasa lega akan itu. Dan ia merasa bahwa istrinya akan aman. Pesta pernikahan sepupunya Fatimah esok hari akan segera dilangsungkan. Mungkin akan sibuk bagi saudara lelaki membantu persiapan pestanya. Maka dari itu, Albhi mungkin tidak lagi fokus pada handphonenya.

" Albhi, aku ingin berbicara pada istrimu. Apakah boleh? " Tanya Fatimah.

" Aku sudah menghubunginya, tetapi ia sedang sibuk. Aku melihat dari CCTV, sepertinya ia sedang menghabiskan waktu bersama para iparku. " Jawabnya.

Penakluk Iman & Hati ( END ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang