13.

367 53 8
                                    

Danil melempar tasnya ke atas kursi di ruangan keluarga di rumahnya lalu menjatuhkan dirinya di kursi itu, hari ini ia benar-benar sangat lelah.

"Cieee, si bucin udah pulang." Seseorang tiba-tiba duduk di samping Danil dan menatapnya dengan ekspresi sulit di jelaskan. Intinya menurut Danil ekspresi itu terlihat sangat menyebalkan.

Ah benar, Danil ingat, terakhir kali ia menangis di depan Danata. Rasanya ia ingin menghilang sekarang juga karna merasa malu.

"Berisik bocil," kata Danil sambil berusaha menyembunyikan rasa malunya.

"Wle, si bucin si bucin, ayang Aranya gak pergi kan?" Danata malah semakin menjadi-jadi. Ia menjulurkan lidahnya, mengejek Danil sampai akhirnya pria itu memukulnya dengan bantal kursi.

"Balik sana ke Australi," kata Danil lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.

"Dua hari lagi Ana pulang ke Australi kak." Danata memelaskan nada bicara dan wajahnya hingga membuat Danil kembali bangkit dari sandarannya. Ia menatap wajah Danata dengan ekspresi terkejut.

"Serius? Kenapa cepet banget? Gak bisa di undur?"

Danata memperlihatkan gigi-giginya, tersenyum lebar sambil menatap Danil yang sedang menatapnya penuh penasaran. "Kenapa kak? Takut Ana pergi yaaa?" Danata kembali memperlihatkan ekspresi menyebalkannya.

"Serius dua hari lagi kamu kembali?" tanya Danil masih dengan ekspresi wajah serius.

"Enggak lah, masih lama."

"Yehh." Danil kembali memukulkan bantal ke wajah Danata hingga membuat gadis itu meringis sambil memegangi wajahnya.

"By the way, Have you ever fallen in love with someone?" Danil kembali menyandarkan punggungnya sambil melirik Danata yang sedang bermain ponsel.

"Of course," jawab Danata acuh tak acuh.

"Where? In Australia? Or Indonesia?"

Danata tersenyum malu lalu melirik kakaknya. "Indonesia," katanya sambil agak salah tingkah.

"Siapa? Siapa orang itu? Kakak mengenalnya?"

Danata mengangguk.

"Siapa?" ulang Danil. Ia terlanjur penasaran, apalagi menyangkut adik kesayangannya.

"Kak Dimas."

Danil langsung membulatkan matanya dengan mulut menganga, tidak percaya dengan apa yang di ucapkan adiknya.

"Beneran Dimas? Gak ada laki-laki lain apa? Dari sejak kapan kamu suka dia?" tanya Danil tanpa jeda sambil kembali menatap Danata dengan ekspresi wajah serius.

"Dari sejak pandangan pertama, awal aku berjumpa ...," jawab Danata sambil bernyanyi.

"Serius Ana!"

"Serius Elsa!" balas Danata yang membuat ekspresi menyeramkan Danil muncul.

"Dari sejak kak Anil ajak kak Dimas main ke sini. Dan cinta itu bertahan sampai sekarang." Danata melirik Danil sekejap lalu kembali fokus ke ponselnya.

"Dari kecil?"

Gadis itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan yang di berikan Danil.

"Seriusan itu cinta? Kamu masih kecil, emang tahu rasanya jatuh cinta?"

Danata mematikan ponselnya lalu ikut menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dan menatap jauh ke atas sana.

"Jatuh cinta ya? Gak ada sekolah atau pelajaran khusus yang menjelaskan tentang cinta, tapi kita bisa tahu sendiri saat mengalaminya, kita akan tahu apa itu cinta dan bagaimana rasanya jatuh cinta hanya saat kita sedang mengalaminya sendiri. Gitu. Lagian aku udah gede tahu." Danata cemberut karna kakaknya itu selalu menganggapnya masih kecil. Walaupun sudah cukup dewasa, tapi di mata Danil Danata tetaplah gadis kecil yang selalu bermanja kepadanya.

Lebih dari Teman (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang