Sambil memakan makanan yang kemarin Danata berikan kepada Dimas, Danil sekarang sedang berleha-leha, bersandar di sebuah kursi di ruangan Dimas dengan salah satu kaki yang di tumpu oleh kaki satunya dan matanya menatap tajam seekor kucing yang berada di dalam sebuah kandang besi berwarna biru di atas meja. Kucing itu adalah kucing yang Clara minta adopsi. Dimas membawa kucing itu ke kantor karna Danil memintanya. Katanya ia ingin menghilangkan phobianya dengan cara berinteraksi langsung dengan hewan lucu yang menurut Danil menyeramkan itu.
Kucing itu balik menatap Danil dengan tajam sambil mengaum dan menempelkan kuku-kukunya ke dinding kandang seperti siap menerkam Danil hingga membuat pria itu terperanjat karna terkejut.
"Lihat Dim, gak ada ramah ramahnya dia, udah aku pungut juga," gerutu Danil sambil menatap tajam mata kucing itu. Mereka sudah seperti rival abadi saja.
"Kamu juga harus ramah kalo kucingnya mau ramah sama kamu," balas Dimas sambil melirik Danil, menghentikan kegiatan mengetik di laptopnya. Ia lebih membela kucing itu karna jelas-jelas tatapan Danil kepada kucing itu terlihat penuh dendam.
"Gimana caranya?"
"Tatapannya jangan mengintimidasi gitu dong. Nih bentar aku keluarin ya." Dimas beranjak dari kursi kerjanya lalu berjalan mendekati Danil.
"Jangan Dim, nanti kucingnya bunuh aku."
"Engga lah," kata Dimas penuh kesabaran sambil membuka kandang kucing itu. Seolah tahu Dimas orang yang lemah lembut, kucing berbulu putih dengan beberapa corak hitam itu berubah menjadi manja saat Dimas menggendongnya.
"Nih liat, dia baik kok, mau nyoba gendong?" Dimas menjulurkan kucing yang sudah ia gendong kepada Danil dan membuat pria itu menjauh seolah di berikan ular. Tapi sekarang mungkin Danil akan lebih memilih ular daripada kucing.
"Engga Dim gak mau, aku mau liatin dulu aja," balas Danil sambil menghindar.
"Padahal lucu gini. Kayak makhluk pada umumnya, kucing bakal nyerang kalo hidupnya terancam. Kalo kamu lempar pake batu ya iya kucingnya ngamok."
"Heh, kok tahu?" Danil membulatkan matanya saat Dimas mengatakan itu. Padahal hanya keluarganya saja yang tahu bahwa ia takut kucing karna pernah melempar seekor kucing memakai batu.
"Danata nyeritain semuanya. Ternyata kamu bucin sejak dini ya?" ejek Dimas sambil tertawa kecil.
"Duh si Ana, giliran aib malah di ceritain," gumam Danil dalam hati sambil merutuki Danata.
"Bay the way kabar kamu nikah sama Clara kayaknya udah nyebar di kantor. Tadi aku gak sengaja denger orang-orang kantor ngomongin."
"Tegur Dim, bukannya kerja malah ngegosip. Tapi apa aku umumin aja ya hubungan aku sama Ara?" Danil tampak sedang berfikir.
"Kenapa?"
"Aku mau seluruh kantor tahu, kalo perlu seluruh dunia tahu kalo Clara milik Danil," kata Danil sambil tersenyum bangga yang membuat Dimas mengerutkan keningnya sambil menatap pria itu dengan tatapan seolah berkata "Apa sih ni orang gak jelas banget".
"Prik," kata Dimas akhirnya.
"Makanya punya pacar Dim, jangan jomblo mulu." Danil memanasi.
"Enyah aja sana dari dunia," balas Dimas.
Sambil menggendong kucing yang dari tadi nyaman di dalam dekapannya seperti menggendong seorang bayi, Dimas berjalan ke dekat meja kerjanya lalu mengambil sesuatu dan kembali mendudukkan dirinya di dekat Danil.
"Ini ada undangan pesta dari Farel buat malam ini."
Danil mengambil sebuah kertas cukup tebal berwarna hitam yang Dimas ulurkan kepadanya lalu membuka dan membaca isinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lebih dari Teman (On Going)
Teen Fiction[Yuk bisa yuk minimal di follow dulu] Takdir memang penuh kejutan yang tak terduga. Danil dan Clara, yang dulu hanya sepasang sahabat biasa, kini telah berubah menjadi sepasang suami istri yang saling melengkapi. "Ra, apa aku serakah jika aku mengin...