7. First

19 2 2
                                    

"Perasaannya tidak kenal pulang. Mereka senang berangkat. Namun, tidak jarang keberangkatan itu menjadi jebakan. Jebakan yang membuat nyaman dan berakhir mengerikan"

-etnan-

"Maafin aku, Princess. Maafin aku udah buat kamu nunggu"

Gatha masih terdiam, namun air matanya kembali menetes.

Lelaki itu langsung memeluk tubuh Gatha tanpa meminta izin gadis itu. Pelukannya hangat, namun terasa sakit.

Dulu, salah satu kesukaan Gatha adalah pelukannya. Namun, sekarang bahkan ia tidak mempunyai kesukaan apapun. Harapan pun tidak ada. Ia sudah tidak kenal yang namanya mimpi, cita-cita, dan keinginan. Ia hanya berusaha untuk tetap bertahan hidup, melanjutkan perjalanan, dan tidak menahan napas.

"Aku tau, aku salah banget ninggalin kamu"

Harapan? Apa itu? Di saat banyak orang memiliki mimpi yang tidak kenal porsi, ia malah tidak punya satupun. Jika harapan bisa dibeli, Gatha tidak akan menjadi orang yang tidak punya mimpi.

"Maafin aku. Maafin aku, princess"

Tidak. Bukan. Bukan salahnya meninggalkan Gatha. Ini salah dirinya sendiri yang sudah menaruh harapan dan hidupnya pada lelaki yang bahkan tidak bisa memimpin dirinya sendiri. Ini sebuah kesalahan besar. Kesalahan besar yang sudah Gatha lakukan. Dan ia harus berani, berani bertanggung jawab akan harapannya sendiri. Untuk bisa bertahan hidup sendiri, bergantung pada dirinya sendiri, dan tidak terikat oleh lelaki itu lagi.

"Please... Maafin aku"

Gatha melepas pelukan lelaki itu dan mengusap air matanya, "Maaf? For what?"

Lelaki itu melihat jelas mata Gatha yang merah dengan air mata yang berusaha gadis itu tahan.

"Aku tau aku salah, seharusnya aku---"

"Seharusnya apa?" Potong Gatha tanpa membuang wajah pada lelaki itu. Ia ingin lelaki itu tahu apa yang selama ini ia rasakan, tapi ia tidak ingin membuang tenaga untuk mengucapkan itu semua. Karena terlalu banyak, terlalu banyak hal yang lelaki itu tinggalkan.

Seharusnya ia mengerti. Mengerti apa yang Gatha rasakan. Bukan hanya Gatha yang pengertian. Jika hubungan dibangun oleh dua orang, kenapa yang berjalan hanya salah satunya? Bukannya seharusnya keduanya? Jika hanya salah satunya apa masih bisa disebut pasangan?

Air mata lelaki itu pun jatuh, "Benci aku. Aku pantes dapetin itu, dan aku nggak pantes buat kamu"

Gatha langsung menampar lelaki itu tanpa berpikir. Tentu lelaki itu menerimanya, ia bahkan ingin Gatha melakukan lebih dari itu, tidak peduli jika dirinya terluka asal bisa meredakan luka yang ada didalam diri gadis itu.

Tapi tidak. Pukulan itu hanya pelampiasan Gatha. Itu bahkan hanya pelampiasan dari satu perasaan. Yang lainnya? Bahkan tidak bisa Gatha buktikan. Hanya bisa ia rasakan.

"Pukul aja, pukul yang keras! Aku pantes dapetin itu" Ucap lelaki itu sambil mendekatkan tubuhnya pada Gatha.

Gatha pun mendorong tubuh lelaki itu agar  tidak dekat-dekat dengannya. Jika dulu Gatha senang berada didekatnya, sekarang ia ingin sekali jauh-jauh dari lelaki itu. Kalau bisa jauh sekali, sampai ia tidak mendengar kabar apapun dari lelaki itu seumur hidupnya.

"Kasih aku kesempatan sekali lagi. Aku nggak akan sia-siain itu"

Gatha tersenyum tipis, "Aku selalu kasih kamu kesempatan tapi kenapa selalu kamu buang? Kalau ujungnya kamu buang, buat apa kamu dapetin? Thanks for waste my time"

etnanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang