13. Jatuh

17 1 2
                                    

"Beberapa keyakinan yang orang lain rasakan bisa menjadi keraguan untuk diri sendiri. Walau terasa tidak masuk akal, perasaan tetap akan tinggal"

-etnan-


Kebohongan menjadi kemenangan. Tokoh Kafka bisa menjadi tokoh yang paling dibenci. Tapi, untuk Gatha? Kafka tetap menjadi tokoh yang paling dicintai. Yang melegenda. Yang akan terus Gatha ingin setiap waktu. Namun, waktu tidak menginginkannya.

Setelah bertahun-tahun menghilang dan kembali hanya untuk menyampaikan sebuah perasaan yang sudah tidak ada? Itu sama sekali tidak masuk akal dalam pikiran Gatha. Ya.. Memang kadang perasaan tidak selalu bekerja sama dengan akal. Tapi, hal yang dilakukan Kafka benar-benar sulit untuk Gatha terima.

Jika memang perasaannya sudah tidak ada, untuk apa ia kembali? Untuk mengucapkan selamat tinggal? Tapi, buat apa? Bahkan lelaki itu sudah meninggalkannya lebih dulu tanpa mengucapkan apapun.

Yang menjadi masalahnya bukan hanya kebohongan yang Kafka lakukan. Tapi, Gatha. Gatha yang selalu menerima apapun yang Kafka lakukan. Walau itu melukainya. Walau itu menghancurkannya. Walau itu membuatnya menjadi perempuan yang menyedihkan. Tapi? Gatha tidak pernah menolaknya.

"Tidak menjadi masalah jika menyakiti, asal kamu selalu kembali"

Lihat? Kalimat itulah yang selalu tertanam dikepala Gatha. Bahkan saat ini, perasaannya masih membela lelaki yang telah meninggalkannya, lagi.

Tubuhnya sudah basah kuyup, ia membiarkan hujan memukulnya. Berharap bahwa itu akan menyadarinya. Tapi, pada kenyataannya, kadang manusia suka memaklumi hal yang sebenarnya salah.

Gatha tidak tahu harus kemana, yang jelas tidak ke rumah. Ia tidak mau jika harus pulang lalu berdiam diri di kamar dan memikirkan lelaki yang memintanya untuk melupakannya.

Jalanan sepi, tidak ada satupun orang yang lewat. Ia benar-benar sendiri. Pandangannya sedikit buram, kepalanya sedikit pusing, dan ia berusaha untuk tetap melangkahkan kakinya, meskipun entah kemana. Semuanya benar-benar membuatnya menutup pintu rapat-rapat akan kebahagiaan.

Kebahagiaannya sudah pergi, bahkan mengusirnya.

Ia pun duduk dipinggir jalan dan memeluk lututnya sambil menundukkan kepalanya. Beberapa detik kemudian, tidak terasa lagi rintik hujan pada tubuhnya. Apakah hujan sudah berhenti?

Gatha mendongak dan melihat payung yang membantunya untuk tidak terkena air hujan.

"Lo ngapain disini?"

Lelaki itu pun berjongkok dihadapannya tanpa menjawab pertanyaannya.

Sekarang, mata mereka saling bertemu. Beberapa detik kemudian, Gatha membuang pandangannya pada rintik hujan.

"Pergi"

Etnan tersenyum, "Mau main hujan bareng, nggak?"

Gatha memutar kedua bola matanya malas, "Kalau lo emang mau main hujan-hujan-an, ngapain bawa payung?"

"Ya.. Gapapa, Gat. Kasian payungnya kalau nggak dipake"

Etnan pun berdiri lalu menutup payungnya dan kini tubuhnya ikut basah seperti gadis yang ada dihadapannya. Ia pun memegang payung tersebut ditangan sebelah kiri, sedangkan tangan sebelah kanannya ia ulurkan tepat didepan mata Gatha.

Gatha masih membuang pandangannya. Ia sungguh malas berususan dengan lelaki itu sekarang. Kenapa ia harus datang?

Etnan masih saja mempertahankan tangannya sampai Gatha menerimanya. Namun, terlihat jelas, Gatha tidak peduli. Tapi, hal itu tidak mengurungkan niatnya.

etnanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang