27. A Place

15 3 1
                                    

"Perasaan sedih itu rumah. Proses kesembuhan yang disebut penerimaan. Bukan karena tidak lagi sakit, tapi menjadi pengingat bahwa ia juga manusia"

-etnan-

Gatha menatap kuburan yang masih basah dengan taburan bunga itu sedari tadi tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Air matanya seolah tidak bisa berhenti mengalir memeluk dirinya yang hancur. Langit abu-abu ikut menemaninya yang sedang tidak baik-baik saja.

"Ayo, sayang. Biarin Ayah istirahat. Kita pulang" Ucap Faya sambil memegang kedua pundak Gatha dan perlahan membantunya berdiri. Namun, tubuh gadis itu langsung menolak ajakannya.

"Kalau Mama mau duluan, silahkan. Aku masih mau di sini" Jawab Gatha tanpa melihat ke arah Faya sedikitpun dan tetap mengarahkan pandangannya pada Ayahnya yang sekarang tidak bisa lagi ia lihat.

Faya menelan ludah kasar, "Yaudah. Mama duluan, ya? Kamu hati-hati pulangnya"

Gatha tidak menjawab dan lanjut terdiam membisu. Isi kepalanya berisi suara-suara yang ingin sekali ia muntahkan. Hatinya patah. Sakit sekali rasanya. Tidak pernah ia merasakan sesakit ini. Tuhan, kenapa harus ada rasa sakit jika kebahagiaan saja tidak pernah didapatkan? Bukankah itu adalah dua kesatuan utuh untuk melenyapkan hidupnya?

"Sekarang siapa yang bisa Gatha peluk, Yah? Gatha udah nggak punya siapa-siapa"

"Bukannya Ayah pernah bilang mau gandeng tangan aku pas kelulusan nanti? Seolah aku memang satu-satunya putri Ayah"

"Ke mana Ayah sekarang?"

"Kenapa udah pergi bahkan tanpa pamit dulu sama Gatha?"

"Ayah tega, ya?"

"Aku harus ke mana sekarang? Mama udah bukan Mama lagi"

"Rumah aku cuma Ayah. Kalau sekarang rumahnya udah gaada berarti aku gaakan pernah lagi bisa pulang"

"Kita udah jarang ketemu, Yah. Tapi, sekarang malah gaakan bisa lagi ketemu"

Air mata Gatha mengalir semakin deras dan terdengar isakannya setelah ia terus berusaha menahannya.

"Kenapa Gatha nggak bisa ikut Ayah? Kenapa kita nggak bisa punya hari yang sama di mana kita nggak lagi hidup di dunia yang nggak pernah menerima aku?"

"Aku harus gimana, Yah?"

"Apa yang harus aku lakuin?"

"Cuma ayah jalan aku. Tapi, sekarang aku buntu"

Terdengar suara petir yang seolah menyahut ucapannya. Tapi, Gatha sama sekali tidak peduli. Ia justru bersyukur jika terkena petir yang bisa mengantarkannya pada Ayahnya.

Hujan deras pun langsung turun membasahi tanah juga tubuhnya yang sudah rapuh. Air matanya kini tidak terlihat dan suaranya semakin tidak terdengar. Baguslah. Tidak akan ada orang yang tahu ia sehancur apa.

Gatha menempelkan kepalanya pada batu nisan itu dengan mata tertutup. Dunia kini semakin buruk setelah kepergian Ayahnya. Jadi, untuk apalagi ia membuka mata?

lima menit ia menutup mata, kepala juga tubuhnya tidak lagi terkena air hujan, sedangkan hujan masih deras. Ia pun terpaksa membuka mata dan melihat siapa manusia yang dengan beraninya membuatnya terlindungi dari air hujan.

"Lo ngapain di sini? Tolong pergi"

"Izinin gue buat temenin lo, Gat. Tolong"

"Gue nggak butuh. Pergi lo sekarang!"

"Gatha, tolong. Gue cuma mau ada di samping lo"

Gatha langsung beranjak dan Etnan pun mengikutinya.

"Gue nggak mau bokap gue ke ganggu karena gue marah-marah di sini. Jadi, tolong pergi. Sebelum gue bener-bener marah"

Etnan menelan ludahnya kasar. Payung yang ia bawa berada tepat di atas kepala Gatha penuh dan mengabaikan kondisinya sekarang yang basah kuyup.

"Gue nggak akan ngomong apapun, biarin gue pegang payung ini biar lo nggak kehujanan"

Gatha pun langsung mengambil payung itu, "Udah, gue bisa pegang sendiri. Sekarang lo pergi"

"Gatha.."

"Tolong, gue minta tolong"

Etnan menatap kedua mata Gatha yang benar-benar berhasil membuatnya hancur. Bukan karena gadis itu mengusirnya, tapi karena kesedihan menghampirinya.

Ia ingin sekali hidup gadis yang dicintainya hanya dipenuhi dengan kebahagiaan, tapi apa yang bisa ia lakukan?

Dengan sangat terpaksa, Etnan berbalik perlahan meninggalkan Gatha. Gatha pun menundukkan kepalanya sambil tetap memegang payung lelaki itu.

Sekalipun hujan turun dengan deras, tangisan Gatha tetap terdengar sangat jelas di telinganya. Ingin sekali ia memeluk tubuh gadis itu dengan erat dan tidak akan melepaskannya sekalipun gadis itu tidak mengharapkan kehadirannya sedikitpun.

Payung yang Gatha pegang terjatuh, Etnan langsung membalikkan badannya dan mendekat ke arah Gatha. Tidak peduli gadis itu akan marah besar, benci dan tidak sudi melihatnya lagi, setidaknya biarkan kali ini saja keinginannya terpenuhi. Sebentar, sebentar saja. Memeluk perempuan yang membuatnya jatuh sejatuh-jatuhnya.

Tubuh Gatha terduduk tanpa tenaga untuk berdiri lagi, tangisannya semakin kencang bersama dengan pelukan Etnan yang semakin erat. Entah kenapa ia membiarkan lelaki itu memeluknya padahal ingin sekali ia mendorongnya dan mengusirnya lagi. Tapi, apa yang ia lakukan sekarang? Hanya diam dengan tangan Etnan yang sangat erat seolah tidak akan membiarkannya pergi.

Etnan terus memeluk Gatha walau tidak berbalas. Tidak juga mengharapkan untuk dibalas. Gatha yang tidak menolak pelukannya sudah sangat cukup buatnya.

Cukup lama mereka berpelukan, lebih tepatnya Etnan yang memeluk Gatha. Isakan gadis itu pun sudah tidak terdengar lagi dan semuanya gelap.

etnanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang