30

325 39 6
                                    

Ini adalah hari Sabtu dan pada akhirnya Ivan menginap di rumah Ayu karena cuaca yang tidak membaik jadi dia terbangun dengan punggungnya yang sakit karena tidur di sofa, tetapi dia tidak keberatan karena dia mulai mengingat bagaimana dia akhirnya jujur tentang perasaannya dan bahwa perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan. Dengan mata yang masih terpejam, Ivan bisa merasakan seseorang menggoyangkan tubuhnya dengan lembut sehingga dia akhirnya membuka mata dan melihat Ayu berjongkok di samping sofa, mencoba membangunkannya. Ivan melihat sekeliling dan langsung duduk tegak.

"Selamat pagi," sapa Ayu dengan senyuman yang cerah.

Ivan mencoba untuk tidak tersenyum ketika dia menjawab, "Good morning." Ivan melihat sekeliling dan bertanya, "Jam berapa sekarang? Orang tua kamu mana?"

"Ini jam 10 pagi, orang tua aku tadi pergi ke rumah tante sekitar jam 8 pagi, mereka bilang jangan banguinin kamu karena kamu kelihatan cape," jawab Ayu.

"Kamu seharusnya bangunin aku, punggungku sakit," keluh Ivan, kemudian dia mencium pipi Ayu dengan cepat walaupun awalnya sedikit ragu. "Kamu belum gosok gigi!" ucap Ayu sambil mengusap pipinya.

Ivan langsung tertawa, "Good sleep?" Dia bertanya.

"Mm, a really good sleep," jawab Ayu dan berdiri untuk duduk di samping Ivan di sofa. Ayu meringkuk lebih dekat dan menyelipkan kepalanya di bawah dagu Ivan. Setelah beberapa saat, Ayu tertawa dan bertanya, "Kok kamu tegang dan kaku banget sih?"

"Just wasn't sure how you felt about last night, I wasn't sure if you regretted it," kata Ivan dengan nada pelan. Dia berhenti dan terkekeh sebelum menambahkan, "Dan aku gak tau kenapa orang tua kamu percaya banget sama aku sampe mereka berani ninggalin kita sendirian."

Hal tersebut membuat Ayu langsung duduk tegak dan hampir membenturkan kepalanya ke dagu Ivan. Dia menatap Ivan dan berkata dengan tegas, "I don't regret it."

"Neither do I," Ivan menjawab dengan sungguh-sungguh.

"Dan orang tua aku tau kalau aku gak akan mungkin melakukan hal bodoh dan mereka tau kamu bukan cowok yang begitu, they know that you're a gentleman," jawab Ayu.

Ivan tertawa kecil sambil melingkarkan lengannya di bahu Ayu. Ayu dengan lembut menyentuh wajah Ivan dengan satu tangan lalu dia mengecup pipi Ivan sebelum berkata, "I really like you."

"Enough to be my girlfriend?" Ivan berkata sambil tersenyum, menemukan kepercayaan dirinya yang biasa.

"Yes," kata Ayu sambil tertawa. Tapi kemudian Ayu menatap Ivan dan cemberut, "Tapi seharusnya kamu bisa tanya dengan cara yang lebih romantis," ucapnya.

"Ah, yaudah aku coba lagi kalau begitu," kata Ivan dengan kilatan nakal di matanya. Ivan meraih handphonenya dan berdiri dari sofa. Begitu dia selesai melihat sesuatu di handphonenya, dia batuk secara dramatis sebelum berkata, "Konsonan langit yang akan menjadi sebuah takdir cinta kita, menjadikan hamparan bahwa saksi ini, detik ini, secara sinaran ultrafeng yang mulai dinaungi oleh greenday-"

Sebelum Ivan bisa menyelesaikan kata-katanya, Ayu langsung berdiri sambil tertawa dan menghampirinya untuk menutup mulutnya dengan tangannya, "No! Stop!" Ucap Ayu dengan tangannya yang masih menutupi mulut Ivan. "Aku bilang romantis, bukan dramatis," ucap Ayu sambil berusaha untuk tidak tertawa.

Ivan tertawa geli sebelum meraih kedua tangan Ayu dan memberinya senyum paling cerah. Setelah beberapa saat mereka akhirnya tenang dari tawa dan wajah Ivan menjadi serius, "Ayu, kamu membuat aku lebih bahagia dari sebelumnya, aku gak punya bunga atau apa pun yang bisa buat ini jadi romantis tapi kamu mau gak jadi pacar aku?"

"Yes, aku mau," ucap Ayu dengan suara lembut. Ivan langsung memeluk Ayu sambil mencium kepalanya.

Mereka terlalu larut dalam momen bersama sampai-sampai mereka tidak menyadari Syifa turun dari tangga dan sudah berada di ruangan yang sama dengan mereka. Syifa memberi mereka waktu sebelum berkata, "Finally!"

The ValedictorianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang