"Kalian weekend ini ngapain?" Ivan bertanya.
"Gak ngapa-ngapain," Wendi dan Ruben sama-sama menjawab.
"Gimana kalau kita weekend ini ke Puncak?" Ivan menyarankan.
"Okay!" jawab Wendi. "Ke sana dari malem ini?"
"Iya, jadi kita bisa punya lebih banyak waktu di sana," jawab Ivan.
"Cuman bertiga?" tanya Ruben.
"Iyalah, emang kenapa? Lo mau ajak orang lain?" Ivan mengangkat alisnya.
"Gimana kalau kita ajak Wenda?" Ruben menyarankan sambil tersenyum.
"What's your motive?" Wendi bertanya dengan curiga.
Ruben langsung menggelengkan kepalanya, "Gak ada, no motive. Gue cuman berpikir bakal fun kalau kita ajak Wenda," jelas Ruben.
"Fine...." kata Ivan.
"Boleh gak gue-" Wendi hendak mengatakan sesuatu tetapi Ivan langsung memotongnya dan berkata, "Sumpah kalau lo bilang lo mau ajak Natasya, gue akan batalin ini!" Ivan mengancam.
Wendi mengangkat kedua tangannya sebagai bentuk menyerah, "Okay. Okay. Santai dong."
"Gue jemput kalian jam 7 ya," ucap Ivan.
"Jangan, gue aja yang nyetir!" Ruben menawarkan. "Gue bakal jemput Wenda dulu terus baru deh gue jemput kalian berdua," katanya.
Ivan mengangkat alisnya, "Kok lo bisa yakin si Wenda free malem ini dan weekend ini?"
"Orang tuanya lagi ada di Bali sekarang," Ruben nyengir.
"So you do have a motive," Wendi menuduh.
"Gak ada! Gue cuman butuh bantuan supaya gue gak stress ngurusin kalian berdua," Ruben memberi alasan.
"Lo ngurusin kita berdua sendirian selama bertahun-tahun dan sekarang tiba-tiba lo butuh bantuannya Wenda? I'm calling out your bullshit!" ucap Ivan sambil.
Ruben memutar bola matanya, "Diem deh!"
-----
Ruben menghela nafas untuk yang ke-10 kalinya malam ini karena Wendi dan Ivan. Saat ini baru jam 8 malam, Ivan, Wendi, Ruben, dan Wenda sedang berada di dalam mobil menuju Puncak. Wendi dan Ivan bertengkar tanpa henti di kursi belakang seperti anak kecil sementara Ruben mengemudi dan Wenda duduk di sampingnya. Bahkan Wenda mulai lelah mendengarkan Wendi dan Ivan berdebat tentang hal-hal bodoh.
"Eh, lo berdua bisa diem gak?" Ruben bertanya dengan frustrasi.
"Wendi harus ke toilet lagi padahal baru aja kita berhenti di rest area," kata Ivan.
"Gue tadi terlalu sibuk fotoin Ivan jadi gak sempet ke toilet," Wendi membela diri.
"Padahal gue gak minta difotoin," Ivan bergumam.
Wenda dapat mendengar Ruben menghela nafas lagi saat dia mengemudi, jadi dia mengambil alih percakapan dan berkata, "Tahan aja, kita bentar lagi sampe kok."
Butuh waktu sekitar 40 menit untuk akhirnya sampai di villa Ivan. Setelah mereka selesai menaruh barang-barang mereka, Wendi dan Ivan langsung lari pergi ke halaman belakang tempat kolam berenang berada. Dan tanpa peringatan, Wendi mencoba mendorong Ivan ke dalam kolam tapi gagal lalu Ivan langsung berlari menjauh dari kolam. Wendi berlari mengejar Ivan tapi dia tersandung, hal itu membuat Ivan tertawa terbahak-bahak.
"Hati-hati!" Wenda menegur mereka ketika dia akhirnya pergi ke halaman belakang bersama Ruben.
Ivan tersenyum padanya dan berkata, "Don't worry!"
"Hati-hati! Ini udah gelap, we can barely see anything," Wenda menegur mereka lagi.
"Tuhkan, ini makanya gue perlu Wenda di sini," kata Ruben sambil tersenyum.
Ivan tertawa saat Wendi tiba-tiba berlari ke arah Ruben, dan menyeretnya ke kolam sementara Wenda hanya tertawa ketika Ruben berteriak meminta bantuannya. Ivan senang melihat kedua sahabatnya bersenang-senang seperti ini, dia juga merasa lebih ringan dari sebelumnya. Ivan sangat membutuhkan ini.
Jangan salah, Ivan masih merindukan Ayu dan berharap pada akhirnya bisa baikan dengannya, tetapi pada saat ini Ivan senang karena dia tidak perlu khawatir tentang perasaannya.
Ivan kaget saat air menciprat tepat ke wajahnya. Ivan langsung memelototi pelakunya dan Wenda balas tersenyum polos.
"Lo terlihat kayak lagi berpikir terlalu dalem," Wenda menjelaskan.
Wendi mengangguk dan menambahkan sambil tersenyum, "Ini liburan. No thinking allowed."
"Just because you don't think, doesn't mean we all can't," goda Ivan sambil melompat ke dalam kolam untuk bergabung dengan dua sahabatnya.
"Hei, lo yang butuh tutor!" balas Wendi. Kemudian dia ragu-ragu, seolah kata tutor sudah menjadi tabu.
Ivan tersenyum padanya meyakinkan dan menghampirinya. Ivan memercikkan air ke Wendi dan berkata, "That's true, tapi gue gak tau kalian udah denger atau belum, sekarang nilai gue udah bagus semua!"
"Another thing to celebrate!" Wenda menimpali, dan Ivan tidak bisa berhenti tersenyum.
-----
Saat itu pukul 9.30 ketika Ivan dan Wendi memutuskan untuk keluar membeli minuman dan makanan ringan. Ketika mereka berada di kasir, handphone Ivan terus berdering sehingga Wendi menyuruhnya untuk menjawabnya karena itu mengganggunya. Ketika Ivan mengeluarkan handphone dari sakunya, dia melihat nama penelepon dan membeku di tempat, ternyata Ayu yang meneleponnya.
"Siapa?" tanya Wendi saat melihat Ivan menatap layar ponselnya dengan mata melotot.
"Ayu," jawab Ivan.
"Kalau gitu angkat dong, kenapa malah diem?" Wendi bertanya lagi.
"Gak tau," kata Ivan.
Wendi menghela nafas, "You're panicking. Itu cuman Ayu, angkat atau gua yang akan angkat," katanya.
Ivan menarik napas dalam-dalam dan akhirnya menjawab panggilan itu. "Halo?"
"Hi, Ivan."
Tidak salah lagi, itu memang suara Ayu, tapi dia terdengar sangat gugup dan lelah. Ivan mengerti perasaan itu.
"I'm not gonna lie, I wasn't expecting a call from you anytime soon," kata Ivan ringan tapi tajam.
Ayu akhirnya berbisik, "Gue minta maaf." Ada jeda sebelum dia menambahkan, "Can we talk?"
Ivan menepuk bahu Wendi, memberi isyarat bahwa dia akan pergi ke luar toko dan menghela nafas ke telepon. Ivan memasukkan tangannya yang bebas ke dalam sakunya dan mencoba memberinya jawaban.
"Gak harus sekarang. Gue cuma ngerasa kita harus ketemuan untuk ngobrolin masalah kita."
Untuk sesaat, Ivan takut Ayu mengetahui perasaannya padanya. Namun, jika itu masalahnya, mungkin akan lebih baik bagi Ivan untuk mengakhiri keraguannya untuk selamanya.
"Okay," hanya itu yang bisa Ivan katakan.
Terjadi keheningan yang tidak nyaman sampai Ayu berkata pelan, "I miss you."
"I miss you too," kata Ivan tanpa banyak berpikir. Tidak ada gunanya menyangkalnya. Entah bagaimana, Ayu telah menjadi bagian dari kehidupan Ivan. Ivan menggaruk belakang kepalanya dan berkata, "Gue gak bisa banyak ngomong sekarang, tapi gue juga mau minta maaf. I don't regret caring about you, Ayu, not one bit."
Keheningan terjadi sekali lagi, dan untuk sesaat Ivan mengira Ayu telah menutup telepon. Lalu, ada isakan teredam di ujung yang lain.
"I know," gumam Ayu di telepon. "I know."
Ivan ingin mengatakan lebih banyak, tetapi itu bukan sesuatu yang harus dia katakan melalui telepon. Sambil menghela nafas lagi, Ivan berkata dengan lembut, "Bye, Ayu. I'll talk to you soon."
"Bye, Ivan."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Valedictorian
Fiksi PenggemarIvan adalah seorang kapten basket yang belakangan ini selalu mendapatkan nilai jelek dalam beberapa pelajaran, jadi dia harus meminta murid ranking 1 yang bernama Ayu untuk mengajarinya agar Ivan bisa mendapatkan nilai yang bagus.