14. Rumah mamih🕳️

1.7K 130 3
                                    

Bagian satu empat
.
.
.

Absen pake apa lagi ya?

Aha!

Absen pake nama ayang

Yang jomblo absen di sini aja terserah

Hehe

Wajib follow RosianaSalma

Motor pak Arfan melintas di hadapan rumah Arin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Motor pak Arfan melintas di hadapan rumah Arin. Sempat melirik sebentar, pak Arfan dapat melihat Arin yang baru pulang dari sekolah tengah melepas sepatunya. Ingin menyapa, tapi canggung rasanya. Biarkan saja, dia masih tidak mau diganggu olehnya.

Hari ini mamih memaksanya untuk makan siang di rumah baru mereka. Pak Arfan sempat menolak, dia sibuk. Di sekolah pak Arfan memang tidak terlalu sibuk. Tapi hari ini dia ada rencana untuk melihat toko kosmetik yang dipegang olehnya. Mamih bilang lain waktu saja mengontrol toko, katanya hari ini pak Arfan harus menuruti perintahnya.

Sesampainya di tempat tujuan. Pak Arfan langsung memasuki rumah yang begitu besar. Sebenarnya, ini bukan kali pertama pak Arfan datang ke rumah ini. Waktu itu pas kancing bajunya copot dan terjebak rasa canggung di rumah Arin, pak Arfan berniat untuk melihat kondisi rumah yang mamihnya beli.

"Hay, gantengnya mamih udah dateng aja nih. Mamih pikir kamu gak dengerin mamih dan malah pergi ke toko." Mamih Arlita membimbing putra tersayangnya untuk duduk di kursi meja makan.

Pak Arfan tersenyum tipis. Dia mengamati sekeliling rumah yang tampak jauh lebih baik dari sebelumnya. Pada saat dia kemari untuk pertama kali. Rumah ini masih belum terawat, tapi kali ini rupanya telah di sulap menjadi rumah khas maminya, penuh dengan ornamen kayu, serta pahatan patung di mana-mana.

"Ayo makan. lapar banget kan. Kamu pasti jarang makan makanan rumahan ya?" Tanya mamih Arlita kesal.

Pak Arfan mengguk. Dia mengambil udang asam manis ke dalam Pring yang sudah di sajikan lengkap dengan nasinya oleh mamih Arlita.

"Tuh kan kata mamih juga apa. Mending kamu tinggal di sini aja, sekolah juga lebih Deket dari sini ketimbang dari apartemenmu. Kamu tuh ya kok bandel banget kalo dibilangin."

Pak Arfan meringis, mamih Arlita memang cerewet. Tapi untungnya kecerewetan itu tidak menurun pada Arfan.

"Nih, makan sama sayurnya juga. Makan yang banyak. Kamu makin kurus loh semenjak pisah rumah sama mamih." Mamih Arlita cemberut. Namun beberapa detik kemudian wajahnya kembali ceria.

"Emm Arfin ke mana?" Tanya Arfan.

"Gak tau. Adik mu itu loh susah banget dibilangin, susahnya lima kali lipat dibanding kamu. Ampun deh." Mamih Arlita menuangkan air dingin ke gelas pak Arfan.

"Nanti Arfan usahakan bicara sama Arfin." Pak Arfan kembali menyantap masakan mamihnya dengan lahap.

"Ya Percuma, adik kamu itu bandelnya minta ampun. Sudah pengangguran, hobinya ngabisin duit orang tua. Papih yang ngomong aja gak didengerin apalagi kamu."

"Mih," ucap Arfan pelan. Dia tahu mamih Arlita sedang kesal. Tapi dia tidak suka jika mamihnya mengatakan hal seperti itu tentang adiknya. "Mungkin dia hanya belum dapat pencerahan. Dia belum sadar, kalau hidup yang sekarang dia jalani itu salah. Nanti Arfan coba bicara sama dia kalau Arfan ada waktu."

"Iya deh, mamih percaya." Tangan mamih Arlita sekarang tengah mengupas buah apel. "Eh, kamu udah ada calon belum?"

Hampir saja pak Arfan tersedak. Sebenarnya dia sudah menduga, mamih Arlita pasti akan membahas topik ini.

"Pasti belum dapet nih." Bibir mamih Arlita kembali manyun. "Kalau udah ada, langsung kenalin ke mamih. Ya... Kalo bisa sih gak usah pacaran, langsung gas nikah aja. Gak kasihan apa lihat mamih sama papihnya udah peot begini masih belum gendong cucu?"

"Iya mih." Sudahlah, pak Arfan semakin malas untuk datang ke rumah ini lagi.

"Tapi kelakuan adik kamu itu, suka ngingetin mamih sama kakak kamu." Tiba-tiba Arlita, berbicara, setelah beberapa menit terdiam.

Pak Arfan tertegun. Sejenak dia menghentikan kegiatan makan siangnya. Dilihat mata mamih Arlita menerawang.

"Adik kamu itu, bejat Arfan. Dia sama sekali tidak belajar dari kesalahan kakaknya. Hiks..." Mamih Arlita memukul-mukul pelan dadanya. "Mamih masih gak terima kakak kamu mati dalam keadaan seperti itu, Arfan. Mamih mau benci sama dia, adik kamu. Tapi mamih gak bisa!"

"Sudah mih." Pak Arfan bangkit dari duduknya. Dia berusaha mencoba menenangkan mamihnya.

"Dia sudah dewasa, dia bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri."

*

"Loh, kok balik sih. Nginep dong semalem aja di sini. Mamih suka kesepian, gak ada yang bisa mamih ajak ngobrol kecuali kamu. Gak kasian apa?"

Setelah makan siang dan berkeliling rumah ini. Pak Arfan berniat pulang. Tapi sepertinya mamih Arlita, sangat tidak senang. Ini mungkin terlalu sebentar. Tapi ya mau gimana lagi? Pak Arfan harus menyempatkan waktu untuk cek toko kosmetik miliknya. Niatnya sih mau pulang. Tapi nanti dijalan pak Arfan pasti mampir dulu ke tokonya.

"Ehh, tunggu dulu. Ini mamih udah bungkusin kamu makanan buat makan malam." Kemudian mamih Arlita melebarkan sebuah kain bergambar kartun berwarna hijau yang sudah kusam. "Taraaaa, mamih udah nemuin Poja," ucapnya riang.

Pak Arfan sedikit terkejut. Namun sedetik kemudian kedua sudut bibirnya tertarik berlawanan. Poja adalah sebuah selimut kesayangan pak Arfan sejak dia masih balita. Jika Poja hilang, sudah pasti pak Arfan tidak bisa tidur. Akhir-akhir ini sebetulnya pak Arfan juga tidak bisa tidur karena hilangnya Poja. pak Arfan berpikir, dia harus bisa terlepas dari benda itu karena umurnya yang sudah matang, tapi nyatanya ini susah sekali.

Malam ini pak Arfan sudah pasti akan tidur dengan nyenyak sebab Poja kesayangan sudah ditemukan sang mamih ketika beberes rumah lama.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
BEKAS [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang