13. Sogok menyogok 🕳️

2.2K 149 0
                                    

Bagian satu tiga
.
.
.

Absen pake emot makanan 🍕

Cewek?

Apa

Cowok?

Tandai typo 👀

Jangan lupa follow RosianaSalma

Jangan lupa follow RosianaSalma

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Arin.."

"Pergi!"

Pergi? Yang benar saja. Untuk apa pak Arfan berlari sejauh ini untuk mengejarnya tapi ujung-ujungnya dia pergi begitu saja?

Dengan degup jantung yang masih menggebu, pak Arfan duduk di samping Arin, menempelkan punggungnya Kedinding dan menatap lurus ke depan, berusaha untuk tidak menoleh ke arah Arin yang masih menangis.

Hati pak Arfan ikut teriris. Dia membiarkan Arin untuk menumpahkan segala kekesalannya.

Arin tidak tahu,dia sama sekali tidak ingin menangis, tapi dua mata sialan ini terus saja mengeluarkan air. Arin ingin berhenti menangis, dia mencoba menahannya.
Tidak bisa! Ini terlalu sulit. Arin kembali menumpahkan tangisannya, tanpa ditahan sedikitpun.

"Kenangan indah, ck." Tiba-tiba Arin berdecak setelah beberapa menit mereka terdiam. Anak itu menyeringai, kemudian terkekeh secara bersamaan.

"Jadi ini kenangan yang bapak maksud indah?hah!"

Pak Arfan menganga, teringat soal perkataannya waktu itu di rooftop sekolah. Sungguh, pak Arfan tidak bermaksud apapun. Dia hanya ingin Arin bisa berteman dengan banyak orang. Sudah itu saja. Tapi mengingat kejadian barusan, pak Arfan jelas menyesal.

"Maaf." Tidak tahu apa lagi yang harus dia ucapkan selain kata itu. "Ayo, saya antar pulang. Tolong pakai jas ini. Saya tidak bawa jaket."

Arin memandang jas pak Arfan, tatapannya seolah meremehkan. Matanya kian menyipit kemudian mulutnya terbuka.

"Untuk apa? Toh semua orang juga sudah melihat. Untuk apa ditutupi?"

Dasar bodoh! Sungguh, Arfan sangat jengkel mendengar nya. Kalau tahu bakal serepot ini. Lebih baik, biarkan saja dia berlari sendiri tadi. Tapi rasanya tidak mungkin pak Arfan berani meninggalkan seorang remaja sendirian dengan keadaan buruk seperti ini, di tambah lagi Tubuhnya bergerak begitu saja saat mengetahui kalau Arin berlari dalam keadaan seperti ini.

"Terus, kamu mau seperti itu saja?" Pak Arfan memakaikan jasnya ke tubuh Arin secara paksa. Tubuh Arin  yang lumayan tinggi Ini hanya mampu tertutup jas pak Arfan setengah paha. "Ayo."

"Gak mau. Saya masih mau di sini." Arin tidak mau bergerak. Meskipun suara tangisannya sudah tidak ada. Tapi suara Arin kini sangat serak. Sepertinya dia sangat butuh air sekarang.

"Untuk apa? Berdiam, merenung dan Memendam semua yang kamu rasakan?" Tanya pak Arfan kesal, bahkan nada suaranya sudah lebih tinggi dari sebelumnya.
Lihatlah anak di sampingnya ini tidak menjawab apapun.
"Kamu itu munafik Arin! Kamu ingin bebas, kamu ingin melawan Daniel, kamu juga ingin hidup normal seperti yang lain. Tapi kenapa diam saja?"

Astaga pak Arfan! Tidak sadarkah kamu barusan berbicara apa? Arin. Mendongak, menatap mata pak Arfan yang menggelap. Namun tidak jauh dengannya, matanya juga menggelap tetapi memiliki arti yang berbeda.

"Bapak siapa?" Tanya Arin menantang. "Bapak jangan berlagak seolah kita ini kenal akrab! Bapak tidak tahu siapa saya dan apa yang saya inginkan. Jadi, jangan ikut campur!"

Pak Arfan mematung. Tidak menyangka respon yang Arin berikan sampai seperti ini.  Perkataan Arin memang tidak ada yang salah. Dia dan Arin sama sekali belum kenal. Tapi kenapa seolah-olah pak Arfan merasa sedekat ini dengan muridnya. Kenapa pak Arfan merasa dia sangat tahu apa yang Arin mau dan apa yang Arin butuhkan, kenapa?

"Saya bisa pulang sendiri. Terima kasih, nanti jasnya saya kembalikan. Dan setelah ini, saya mohon, bersikaplah seolah kita tidak pernah bertemu malam ini."

Pak Arfan mematung, matanya masih mengikuti pergerakan Arin sampai tubuh anak itu menghilang di ambang pintu. Arin benar, dia tidak boleh ikut campur. Jadi, haruskah dia melaporkan kejadian malam ini?

Pak Arfan rasa tidak perlu.

*

Hari Senin adalah hari paling menyebalkan di dunia. Upacara kali ini terasa sangat lama. Usai kejadian yang tidak mengenakan pas malam itu. Keesokan harinya sekolah di liburkan.

Dan hari ini. Hari Senin, anehnya seharusnya banyak siswa-siswi yang memperhatikan Arin dan membicarakannya. Tapi di sekolah ini sama sekali tidak ada yang menyinggung soal Arin malam itu. Ada gosip beredar kalau kasus ini sudah di laporkan ke pihak berwajib oleh pak Bagas yang kebetulan waktu malam itu juga berada di sekolah. Daniel beserta komplotannya menginap di penjara selama dua hari dua malam. Tentu saja sangat mudah. Dengan uang yang begitu banyak tuan Dark, bisa dengan mudah melepaskan putranya.

Pak Bagas tidak terima. Kenapa kasus Arin lenyap begitu saja. Pak Bagas ingin melaporkan nya kembali. Pak Arfan yang mendengarnya segera menghampiri pak Bagas di kantor pagi tadi.

"Kasus Arin hilang begitu saja? Bagaimana bisa." Pak Arfan terlihat emosi. Meskipun dia tidak melaporkan kejadian ini karena malam itu Arin tidak mau dia ikut campur, tapi mendengar kasus ini lenyap begitu saja membuat pak Arfan geram bukan main.

"Iya pak Arfan, saya berniat untuk melaporkannya lagi. Kejadian malam itu sungguh berakibat fatal pada nama sekolah kita.  Nama sekolah kita sudah tercoreng. Tapi, sepertinya saya sudah tidak bisa." Wajah pak Bagas sangat muram.

"Kenapa pak?" Pak Arfan mengernyitkan dahi ketika pak Bagas memberikan selembar surat.

Bola matanya melebar setelah membaca surat itu. Tadi pagi dia juga mendapatkannya tapi belum sempat dia baca. Ternyata semua guru dan staf di sini harus menutup mulut atas kejadian ini, jika ada satu saja orang yang melanggar maka dia akan dikeluarkan atau dicabut namanya dari sekolah ini.

Tentu saja pak Arfan tahu siapa dalangnya.
Hatinya memanas memikirkan nasib Arin yang sangat menyedihkan.

Sekarang pak Arfan sedang berdiri mengikuti kegiatan upacara bendera. Dirinya mendengus melihat keadaan sekitar tampak sama seperti hari biasanya, seolah kejadian memalukan malam itu tidak pernah terjadi.

Kasus ini tidak boleh dibiarkan tutup begitu saja. Dimana keadilan untuk murid yang ditindas jika sistemnya sogok menyogok seperti ini.

 Dimana keadilan untuk murid yang ditindas jika sistemnya sogok menyogok seperti ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
BEKAS [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang