17. Jahit selimut 🕳️

1.3K 120 0
                                    

Bagian satu tujuh
.
.
.

Absen pake huruf kesukaan kalian 👉🏼

Lebih suka manis apa pedas?

Tandai typo 👀

Yang mau di follback komen sini RosianaSalma

Yang mau di follback komen sini RosianaSalma

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Arin menyusuri gang jalan menuju rumahnya. Dengan pakaian yang masih mengenakan baju seragam sekolah, Arin melangkahkan kakinya. Para tetangganya kalau jam segini biasanya sudah pada tidur semua. Terlihat dari beberapa lampu dalam rumah yang padam.

Berjalan sambil di temani suara tikus yang ramai di bawah got, jalan ini sangat lembab, mungkin habis hujan. Arin menunduk melihat jalan ini agak basah, hidungnya mencium bau tanah yang baru tersiram air, harusnya kau tutup hidungmu Arin, nanti pilek gimana? dia menoleh ke samping kiri, banyak sekali lumut daun yang menempel di dekat pipa.

Dengan tangan yang menenteng satu bungkus nasi dan orek tempe yang dia beli di pinggir jalan tadi kaki Arin menyusuri jalan dengan lamban serta kepala menunduk. Suasana sunyi seperti ini sangat membantunya untuk menenangkan diri. Ini memang kota, tapi dari tempat tinggal Arin, lumayan jauh dari jalan raya dan hanya ada jalan sempit saja yang bisa masuk satu mobil bak kecil. Jadi meskipun masih jam segini, suasana di sini sudah sepi.

Baru saja kakinya menapak di teras rumahnya. Arin mendongak, mamandang penuh tanya pada seorang pria yang tertidur di kursi bambu miliknya.

Arin mendekat untuk melihat wajah pria ini lebih jelas, sebab penerangan di rumahnya ini tidak terlalu terang. Hati Arin berdesir, mau apa pak Arfan menunggunya samapai tertidur seperti ini. Arin membuka pintu rumahnya yang seri macet itu dengan sekali gebrakan setelah dia membuka kuncinya.

Suara gebrakan daun pintu tentu saja membangunkan pak Arfan. Pria itu menggosok kedua matanya pelan dengan tangan yang sebelumnya memeluk sesuatu.

Mata Arin memandang datar wali kelasnya ini. Baru juga dia bilang dia tidak mau lagi berurusan dengan pak Arfan, tapi malah di pertemukan kembali saat jam segini?

"Khmm... Arin."

*

Detik jam terasa begitu lamban, pak Arfan duduk di lantai rumah Arin yang sedang menjahit selimut kesayangannya, tentu saja dengan pintu rumah yang terbuka lebar.

Tari Arin sempat menolak untuk menjahit, dia lelah. tapi berhubung baju pesanan tetangga sini ada yang belum Arin kerjakan, jadi sekalian saja.

Suara mesin jahit terdengar nyaring di malam yang sepi ini. Pak Arfan tampak fokus melihat anak didiknya menjahit.

Masih memakai baju sekolah tadi siang, memangnya dia belum pulang kerumah setelah jam sekolah selesai?
Entahlah, pak Arfan ke sini sebenarnya bulan untuk menjahit Poja. Dia ingin memastikan kalau Arin memang baik-baik saja setelah tadi siang pinsan.

Tiba-tiba atensinya teralihkan pada satu bungkus nasi di samping Arin. Rupanya anak ini belum makan.

Pak Arfan berdeham.

"Kamu baik-baik saja?"

Suara mesin jahit telah berhenti, apa urusannya wali kelas ini menanyakan hal itu, apa Arin terlihat semenyedihkan itu?

"Ya." Hanya itu yang dapat Arin ucapakan, dia sendiri saja bingung apa dia baik-baik saja atau tidak. Mungkin pak Arfan menanyakan tentang kesehatan saat tadi siang pinsan secara tiba-tiba.

"Kamu sebaiknya makan dulu. Saya bisa tunggu ini lebih lama." Pak Arfan mengalihkan pandangan ke luar saat telinganya mendengar rintik hujan gerimis dengan suara angin. Tapi tanang saja, telinganya masih dapat mendengar dengusan Arin yang sepertinya sangat terganggu akan keberadaannya di sini.

"Tidak perlu, sebentar lagi juga selesai," katanya. "Lagi pula selimut seperti ini harusnya sudah ada di tong sampah," gerutu Arin. Arfan dapat mendengarnya dengan baik. Pria itu hanya memasang senyum sambil menatap punggung Arin yang sedang menjahit.

Tunggu, kenapa dia tersenyum?

Tidak apalah, sekali-kali bibirnya harus melebar. Tetapi dalam hitungan detik tarikan pada sudut bibirnya mengendur.
Pak Arfan hampir lupa apa yang sebenarnya membuat dia sampai tertidur menunggu Arin.

"Ada hubungan apa kamu sama keluarga Dark?" Tanya pak Arfan tanpa ragu.

Melihat tidak ada respon yang remaja ini tunjukan, Arfan bertanya sekali lagi. Tapi tetap saja. Arin seperti menghindar dan malah mempercepat gerakan pada kakinya.

"Sudah selesai, harganya cuman sepuluh ribu rupiah." Arin menyerahkan kembali selimut pak Arfan, tak lupa dia kantongi karena hujan gerimis masih berlangsung, serta mengembalikan jas pak Arfan waktu malam itu yang belum sempat Arin kembalikan.

Arin hendak menutup pintu saat selimut serta orangnya sudah ada di luar rumah dan dia sudah memegang uang sepuluh ribu. Namun tangan pak Arfan lekas menahan pintu tua itu dengan tangannya.

"Arina...." Ujarnya dengan nada yang sangat rendah. Apalagi saat melihat tangan Arin yang melepuh. Pak Arfan semakin yakin.

"Saya tahu ini mungkin akan sangat mencampuri kehidupan mu, tapi saya janji, saya akan menolong mu untuk keluar dari kegelapan ini Arin." Pak Arfan berucap mantap.

Arin sangat terkejut, dadanya tiba-tiba bergemuruh. Sejenak Arin memberanikan diri untuk menatap dua bola mata tajam di bawah lampu temaram yang sedang menyorotnya.

"Apa maksud bapak?" Arin memberikn penekanan pada setiap kata yang diucapkannya. " Saya sama sekali tidak butuh pertolongan siapapun. Saya baik-baik saja, dan saya tidak merasa hidup di dalam kegelapan. Jika bapak kasihan karena apa yang saya alami saat malam itu, bapak sangat membuang waktu. Dan lagi! Saya tidak butuh untuk dikasihani!"

Brakkk

Pintu belum sepenuhnya tertutup sebab tangan pak Arfan masih menahnya.

Dua bola mata milik pak Arfan berubah merah. Tangannya yang menahan pintu ikut terkepal. Detak jantung Arin berpacu begitu cepat.

"Dengar! Saya sama sekali tidak mengasihanimu. Dan kejadian malam itu, sama sekali bukan alasan saya untuk menolongmu, saya hanya sedang mencoba mendapatkan ke Adilan untuk hidup mu Arin!" Pak Arfan menghembuskan napas. 'dan juga kakak saya,'Lanjutnya dalam hati.

"Terserah, biarkan saya istirahat pak. Saya tidak mau berurusan dengan bapak." Tidak tahu apalagi yang harus Arin katakan. Dia hanya mengikuti otaknya untuk segera beristirahat. Dia sangat lelah.

"Baiklah, saya sudah mendapat ijin darimu." Pak Arfan membiarkan Arin menutup pintu rumahnya dengan kasar. Oke, ijin Arin sudah ada di tangan. Mungkin kali ada waktu pak Arfan akan bertamu ke rumah keluarga Dark.

 Mungkin kali ada waktu pak Arfan akan bertamu ke rumah keluarga Dark

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
BEKAS [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang