Ruangan meeting masih dipenuhi oleh angin berhembus dengan suasana yang terus menegang. Jimin yang serasa ditampar oleh kebenaran kini berada dalam keadaan terguncang. Seseorang yang ia sayangi ternyata berada di dalam diri orang yang terus berada disampingnya, bahkan untuk saat ini. Gadis itu menoleh sambil berlinangan air mata kearah Mark yang nampak khawatir dengan Jimin. Ingatan Mark belum kembali, namun tetap ia mengkhawatirkan keadaan adik kecilnya.
"Kak Mark belum ingat ya?"
"Ah.. belum. Maafkan aku, Jimin. Padahal dia adalah sosok yang penting bagimu, tapi aku belum bisa mendapatkan ingatannya."
Jimin tersenyum sedih lalu mengusap linangan air matanya. Kini tatapan marahnya muncul.
"Hei, Lucifer! Terimalah serangan hebatku ini!"
Angin di ruangan itu menjadi semakin tidak terkendali. Benda-benda mati seperti vas bunga, kertas-kertas dokumen, semuanya berterbangan. Lucifer dan Lee Hyongjae sampai menutup mata mereka karena angin ribut itu membuat mata perih. Kesempatan emas! Jimin memberi isyarat supaya semuanya lari.
Splash! Teleportasi berhasil.
"Hah, hah... melarikan diri dari seorang Lucifer tak kusangka bisa semudah ini," ucap Karina terengah-engah sambil mengusap keringat yang menetes dari dagunya.
"Dia sepertinya sengaja membiarkan kita kabur, nona," ucap Renjun yang dibalas tatapan tajam dari Karina. "Sudah kubilang jangan panggil aku nona!" Katanya menurut sorot tajam itu.
Mereka kembali ke kamar dimana Jisung masih terbaring dengan mata tertutup. Suasana kamar ini begitu tenang, tak terbayangkan bahwa beberapa detik yang lalu mereka berada di situasi antara hidup dan mati.
Jimin duduk di tepi kasur Jisung, memandang sendu kakak kembarnya itu. Ia rindu dengan segala macam tingkah, omelan, dan juga keributan yang biasanya Jimin dan Jisung ciptakan. Gadis itu sungguh tak terbiasa dengan kekosongan sosok Jisung. Meskipun sudah tinggal terpisah bertahun-tahun, tak ada satu jam pun terlewat untuk saling berkabar, entah lewat ponsel ataupun telepati. Selama Jisung terbaring, suara beratnya tak lagi terdengar.
"Kak Jisung... ayo bangun dong. Aku bener-bener nggak bisa apa-apa tanpa kakak. Maafin semua kesalahan Jimin... Jimin emang bodoh banget udah terima perjanjian itu, jadi Kak Jisung harus bangun buat marahin aku."
Mark yang peka dengan situasi ini, mengajak Renjun dan Karina keluar kamar. Mereka memberikan ruang kepada Jimin untuk meluapkan semuanya. Mark menepuk pelan bahu Jimin seraya berkata, "Kita keluar dulu ya. Sekalian ngumpulin informasi." Perkataan Mark hanya dibalas anggukan lemah Jimin.
Setelah ketiga orang itu keluar, kamar hotel yang ditempati sementara oleh Jimin dan Karina Kembali sunyi. Jimin melanjutkan keluh kesahnya.
•••
Sudah hampir lima hari, namun belum ada tanda-tanda Jisung akan terbangun. Mark, Karina, dan Renjun sesekali menjenguk namun Jimin sama sekali tak menggubris kedatangan mereka. Bunyi bel yang berkali-kali sudah menjadi makanan baru Jimin, tapi tetap saja Jimin tak ada niat membukakan pintu. Ketiga orang itu sungguh khawatir. Bagaimana kalau Jimin tidak makan selama itu? Bagaimana kalau ternyata Jimin sudah terkapar pingsan? Atau Jimin sudah kehilangan nyawa?
"Tidakkk adikku tidak boleh matiii!" teriak Mark tiba-tiba. Sontak, seluruh atensi semua orang tertuju pada Mark. Ia berdeham untuk menghilangkan rasa canggungnya.
"Bro, what's wrong with you?" tanya Johnny.
"Nothing, haha."
Renjun membuka suara, "Kita berhasil meyakinkan beberapa staff dan juga artis SM untuk sementara ini bersikap lebih waspada. Kita berhasil merekrut orang yang akan membantu kita. Apa rencanamu selanjutnya Kak Mark?"
KAMU SEDANG MEMBACA
THE TWINS
Fanfictiongimana rasanya punya kembaran idol dengan dirimu sebagai calon CEO agensinya?