Jisung tengah berbaring diatas kasur empuk miliknya. Sejak tadi, ia masih menangis menahan sakit di area bahunya yang terbentur. Ada Mark, dan member Dream lain yang menemaninya. Kalau Jimin, dia ada urusan mendadak.
Tadi sebenarnya Jeno mau menghubungi Kak Jiyen, tapi Jisung malah melarangnya dan mengancam akan menangis lebih keras. Tentu saja member lain bingung dan tak terima keputusan Jisung itu.
"Loh? Kok ngga mau? Itu kalau semakin parah gimana?" Jaemin protes.
"P-pokoknya jangan."
"Hah, apaan deh? Emangnya kamu ngga mau sembuh?"
"Bukan begitu..."
Jisung semakin menunduk karena takut dengan tatapan kakak-kakaknya ini.
Mark memperhatikan Jisung yang terus-terusan memegangi dadanya. Yang sakit bukannya bagian bahu ya?
"Eumm, kalian bisa tolong keluar sebentar aja? Ada yang mau aku omongin sama Jisung. Not as a leader, but as a brother," ucap Mark serius.
Walaupun ada rasa keberatan dengan permintaan Mark, tapi para member tetap keluar dari kamar Jisung.
Setelah memastikan semua member keluar dan tidak ada yang menguping, Mark mendekat kearah Jisung, "Jisung, ada hubungannya dengan kekuatanmu itu, ya?"
"Iya..."
"Ada apa memangnya?"
"Emm, aku ngga tahu Kak Mark boleh tahu soal ini atau ngga-"
"Jisung, I'm your brother."
"Jadi, umm s-sebenarnya dari tadi aku berusaha nutupin ini."
Jisung menyingkap kaos yang tengah dipalakainya itu, dan terlihatlah cahaya merah dengan semburat hitam yang bersinar. Bahkan, sekarang sinar ini lebih terang daripada saat setelah konser.
"Jisung... i-ini apa..."
•••
Alasan Jimin tak ikut menemani Jisung di kamarnya adalah karena tadi tiba-tiba saja ayahnya alias CEO Lee Hyongjae menelpon. Itu kejadian langka yang hanya bisa terjadi beberapa kali dalam setahun-dan mau tak mau Jimin harus menjawab panggilan itu.
Lee Hyongjae biasanya hanya mengirim e-mail, tak lupa dengan ancaman jika Jimin tak becus dalam mengerjakan perintahnya. Ditelfon seperti ini pun hanya membicarakan soal pekerjaan. Tak pernah sekalipun Hyongjae dan Jimin ini berbicara selayaknya ayah dan anak.
"How was your day, Jimin? Is it good?"
Jimin terbelalak.
SEJAK KAPAN LEE-FUCKING-HYONGJAE PEDULI PADAKU? ATAU BAHKAN BAGAIMANA AKU MENJALANI HARI-HARI YANG SEMAKIN SURAM TIAP DETIKNYA INI???
"Baik seperti biasanya, Tuan Lee," jawab Jimin berusaha tenang.
"Benarkah? Bagaimana semua pekerjaanmu? Sudah selesai? Atau ada hambatan? Apa ada yang perlu kubantu, hm?"
Demi kepala botak Neptunus, rasanya Jimin mau membenturkan kepalanya ke tembok sekarang juga.
"Tentu saja lancar, Tuan Lee. Tumben sekali ayah bertanya seperti itu."
"Ahhahahah, benarkah? Yah, diriku yang satu itu memang terlalu keras. Omong-omong, cobalah panggil aku 'ayah'. Kau ini kaku sekali, haha."
'Yang satu itu? Apa maksudnya?' Jimin membatin sambil mengerutkan keningnya. Dan lagi, menyuruhnya memanggil pria tua itu 'Ayah'? AYAH?? A. Y. A. H????

KAMU SEDANG MEMBACA
THE TWINS
Fanficgimana rasanya punya kembaran idol dengan dirimu sebagai calon CEO agensinya?