1

100 14 0
                                    

Malam kurang tidur. Harus pagi banget berangkat sekolah. Pulangnya sore juga. Kapan lulus 'sih? Makin lama makin muak saja rasanya berada di sini.

"Soal berikutnya," seru guru di depan sana. Aku yang menyandar pada tembok di sampingku lantas melirik soal itu.

Hhh, ini semua gara-gara orang itu. Kalau bukan karena dia, pasti aku sudah mengerjakan soal ini dengan rapi tanpa harus mencorat-coret bukuku. Moodku berantakan, asal kalian tahu.

Tapi sebelum itu, perkenalkan, namaku Chalia Sabrin. Salah satu dari sebelas siswa-siswi kelas percepatan yang diprogramkan akan lulus dua tahun. Banyak yang bilang sifatku kalem dan tenang. Itu karena mereka belum mengenalku. Aslinya aku agak sadis.

"Perhatikan gambar di bawah ini! Tentukan—

Mataku tertutup. Kantuk yang tidak kuasa kutahan ini mengganggu sekali. Tuk! Suara asing menyapa telingaku. Kala aku membuka mata, seluruh kelas melirikku.

"Jawab di depan," ucap guru yang sudah berada di depanku. Kakak kelas di belakang sana banyak yang berbisik bahkan sedikit tertawa. Aku agak kesal melihatnya.

"Iya, pak." Kuterima spidol itu dan maju ke depan. Menjawab soal dengan penjabaranku tanpa membawa buku sampai kugambarkan dua garis sejajar setelah jawabannya.

Begitu aku berbalik, mereka menatapku. Tapi aku malah fokus pada salah satu dari mereka. Dia. Dia yang membuatku tidak fokus semalam dan pagi ini juga! Huh, siapa 'sih dia sebenarnya?

"Baik, terima kasih." Aku kembali duduk di bangkuku. Sampai ini juga dia masih melirikku.

Oh, astaga. Dia duluan yang berbicara padaku di parkiran kemarin tapi mengapa aku yang dilihatnya terus? Lagipula dia langsung cabut kemarin, bukannya membiarkanku bertanya apa maksud dia.

"Pak, tanya. Yang tiga itu dapat dari mana?" Seketika aku melirik yang bertanya itu.

"Tanya pada yang menulisnya."

Astaga, Pak Namjoon. Selalu saja seperti ini. Lantas kakak kelas perempuan yang bertanya barusan itu melirikku. Begitu juga dengan yang lain.

"Tiga itu didapat dari hasil integral fungsi sebelumnya," jawabku berharap dia mengerti. Padahal dia sebenarnya sudah mengerti.

"Lalu yang turunan itu mengapa yang terakhir hilang?"

Fuh, aku harus jelaskan dari awal kalau begini caranya. Padahal Jaemin si pemenang olimpiade nasional saja ada di belakangku. Mengapa tadi harus aku yang maju 'sih?

"Terus kenapa—

"Eunbin," panggil Pak Namjoon pada kakak kelas perempuan itu. Dia menoleh.

"Tanya pada saya saja."

"U-udah, pak. Hehe, udah paham kok."

Kalau saja ada bom nuklir di sini, sudah pasti aku lemparkan ke arahnya.

"Makasih," ucapnya padaku dengan senyumannya. Uh, formalitas.

Duk! Kursiku ditendang dari belakang. Kulirik pelakunya, Jaemin. Dia menarik bibirnya sedikit mengisyaratkan bahwa aku harus tersenyum.

"Iya, kak, sama-sama," balasku pada Kak Eunbin. Sekelilingnya langsung berubah tatapan matanya. Dari tadi yang tajam, menjadi agak lunak.

Bimbingan berakhir. Waktunya aku, Jaemin, dan Shuhua kembali ke kelas kami—laboratorium kimia. Akibat dari tidak memiliki kelas pribadi, laboratorium pun jadi.

"Untuk pengurus perpustakaan diharap berkumpul di ruangan petugas sekarang. Semuanya, tanpa terkecuali. Terima kasih."

Baru saja aku menginjakkan kakiku memasuki kelas, aku sudah harus berbalik lagi.

Yeah, Alright ft. Lia ITZYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang