"Berarti dia kakak kelas lo, Li?"
"Apa, kak?!" tanyaku agak berteriak karena dia lumayan mengebut sekarang. Aku juga harus berpegangan erat pada jaketnya dan menahan kepalaku yang keberatan karena helm.
"Berarti dia kakak kelas lo?!"
Oh, dia mendengarku bercerita sedari tadi? Hebat juga pendengarannya.
"Iya, kakak kelas gua!" jawabku berteriak lagi.
"Kok bisa 'sih?" herannya namun tidak aku jawab. Aku juga tidak tahu mengapa ceritanya bisa begini. Tapi aku juga tidak berharap dengan akhir yang lain.
Kami berhenti di parkiran RS. Libur lulus lumayan memaksaku untuk menghadiri setiap acara di luar sana setidaknya untuk mengisi waktu. Kak Lino juga akan memilih memulai paket C-nya di penghujung bulan ini.
"Ambil ID dulu, ya," kata kakakku di samping ini. Kami mulai memasuki gedung RS.
"Mau ke Mama dulu. Kakak ambilkan punyaku, dah." Lalu aku berbelok mengambil jalan yang berlawananan dengannya.
"Lah, Mama praktek sekarang?" Dia bertanya namun tidak sempat aku jawab. Jaraknya terlalu jauh.
Ini Hari Sabtu. Siapa tahu aku akan bertemu seseorang yang tidak berhenti kupikirkan selama satu minggu ini. Sungguh, aku mulai berharap aku bisa bertemu dengannya lagi.
Tok, tok! Tanganku mengetuk pintu dengan sejuta harapan. Aku berharap di dalam ada seorang ibu paruh baya pasien Mama yang sedang kontrol dan juga anak laki-lakinya.
Ceklek! Jantungku berdegup kencang. Aku tidak akan bisa menerima dengan mudah jika harapan ini runtuh begitu saja. Seseorang yang membuka adalah laki-laki. Hatiku mengembang sampai aku.. tahu siapa dia.
Tangan yang sedari tadi saling menggenggam berusaha rileks, kini terlepas. Bersamaan dengan wajah kecewaku begitu tahu siapa dia.
"Pa, ada Lia. Aku ajak jalan dulu, ya," izinnya pada Papanya. Hey, aku ini kepemilikan Mama, bukan Papamu.
"Saya mamanya kalau kamu lupa," sindir Mama di kursinya. Beliau memasang wajah agak seram.
"Oh, iya. Izin bawa ya, Dokter Sabrin. Keliling RS doang." Anak ini tertawa pelan menyadari ketidakpekaannya.
"Li," panggil Mama dan aku pun sedikit masuk. Beliau seakan memberikan nasihat entah apa dari mata beliau. Tapi intinya, aku harus hormat.
Ah, astaga. Ingin sekali aku menginjak balik mereka kalau aku boleh. Mama melarang 'sih. Aku pun mengangguk dan keluar bersama laki-laki ini.
"Gua denger kakak lo balik?" tanyanya dan aku berdehem. Tidak tahu kami akan ke mana, tapi aku akan menyusul Kak Lino dulu di ruangan pengambilan ID.
"Lo sekarang sendiri atau sama kakak lo?"
"Sama kakak," jawabku berbelok ke koridor menuju tujuan.
"Li, ada yang harus kita bicarakan." Langkahku terhenti. Aku menoleh ke arahnya menunggu pembicaraannya.
"Jadi, gini.." Dia tampak ragu untuk melanjutkan. Kaki kananku menepuk-nepuk lantai mengisyaratkan dia harus cepat.
"Kalau gua minta maaf atas nama keluarga gua, lo bisa maafin, ga?" Mataku menyipit men-scan setiap ketulusan di wajahnya. Apa dia.. sedang melaksanakan misi?
"Gua kurang nyaman kalo lo begini terus sama gua. Dulu kita juga 'kan baik-baik aja. Cuma gara-gara Pa—
"Cuma?" Mulutku mengatakan kata 'menyepelekan' itu yang muncul terlebih dulu dari mulutnya.
"Cuma kata lo?" Dia berusaha sabar dan menemukan kata lain.
"Menghilangkan uang puluhan juta milik Papa gua lo bilang cuma?" Astaga, jangan sampai aku terpancing emosi lebih dalam lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yeah, Alright ft. Lia ITZY
FanfictionKami asing, tidak mengenal satu sama lain. Terpaksa bertemu setiap hari di planet yang sama membuatku ingin menyingkirkannya. Nyatanya, aku yang menjadi bulan dan dia buminya. Itulah mengapa di dunia ada karma. Yeah, Alright. Setiap masalah pasti ad...